
Profetik UM Metro – Allah berfirman; Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman, “Masuklah kalian ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya —yang banyak lagi enak— di mana yang kalian sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan katakanlah, “Bebaskanlah kami dari dosa,” niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahan kalian. Dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik (Al Baqarah ayat 58,)
Nalar Qur’ani mengajar kepada manusia akan sebuah kemenangan, kemerdekaan dan mendapatkan kebahagiaan.
Secara umum manusia merefleksikan kemenangan, kemerdekaan dan kebahagiaan dengan perayaan, bahkan melakukan aktivitas yang sangat membuat semua bahagia.
Hakikatnya hal ini tidaklah dilarang selama dalam batas-batas syariat, akan tetapi dalam Al Qur’an, Allah SWT membangun nalar manusia ketika menerima sebuah kemenangan diawali dengan sujud. Mengapa dengan sujud, karena sujud adalah ungkapan syukur tertinggi hamba, pengakuan akan segala nikmat datang dari Allah SWT. Nalar ini tentu sangat berbeda, karena orang yang selalu menjadikan dunia sebagai orientasi akan mendongak ke atas ketika mendapatkan capaian, sedangkan Allah ajarkan orang beriman, menunduk secara totalitas ketika mendapatkan capaian setinggi apapun.
Ayat di atas menggambarkan bagaiamana Allah SWT mengajarkan Bani Israil ketika mereka selamat dari berbagai ujian, sehingga sampai Baitul Maqdis (tanah nenek moyang mereka), dan ini adalah kenikmatan luar biasa. Sehingga dalam ungkapan syukur itu Allah SWT perintahkan bersujud.
إِذْ قُلْنَا ادْخُلُوا هَذِهِ الْقَرْيَةَ فَكُلُوا مِنْهَا حَيْثُ شِئْتُمْ رَغَدًا وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّةٌ نَغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ وَسَنزيدُ الْمُحْسِنِينَ
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman, “Masuklah kalian ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya —yang banyak lagi enak— di mana yang kalian sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan katakanlah, “Bebaskanlah kami dari dosa,” niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahan kalian. Dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik
Mari kita tadabburi ayat ini dengan mendalam. Kita replikasi dengan ketulusan, untuk selalu mengambil pelajaran dari ayat ini. Karena hakikatnya ayat Al Qur’an akan memberikan kebaruan pengetahuan, kecerahan berfikir dan kelembutan rasa dalam hati.
Dalam ayat tersebut, Allah SWT memberikan karunia luar biasa, Allah SWT membebaskan makan minum semuanya, yang halal lagi enak. Tetapi ingat ketika masuk ke dalam kota, bersujud lah dan akuilah dosa dosa kalian, agar Allah SWT mengampuni. Sehingga dapat ditarik beberapa ibrah di bawah ini:
Yang pertama, ungkapan syukur adalah sujud
Sujud menjadi simbol ungkapan syukur, terima kasih tertinggi dalam Al Qur’an. Karena dalam sujud ada tasbih, ada tahmid dan istighfar. Tasbih sebagai pengakuan akan segala nikmat dari Allah, tahmid sebagai pujian trimaksih kepada Allah SWT dan istighfar dari segala kesalahan dan kekurangan dalam proses maupun setelah menerima karunia. Hal ini juga disebutkan dalam surat Al Nashr: Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat. (An-Nasr: 1-3)
Nalar ini tentu sebagai kritik membangun bagi sebagian orang yang merayakan kesuksesan dengan berfoya-foya, bersorak Sorai sampai lupa akan siapa yang memberikan nikmat.
Konsep syukur dalam Al Qur’an ini membangun suasana ketawaduan dalam diri hamba, menyehatkan psikologi manusia, berbeda dengan mereka yang meluap-luap dalam eforia suksesnya.
Suasana jiwa orang beriman yang selalu tenang, dalam menyambut kebahagiaan maupun kesusahan tertuang dalam sujud ini, karena semua mereka kembalikan kepada penguasa semua masalah.
Secara syariat, ayat ini menjadi dasar bahwa ketika seseorang baru sampai ke suatu tujuan, atau pulang ke kampung halaman, maka pertama kali yang disunahkan adalah sholat dua rekaat. Sebagai bentuk tasyakur kepada Allah SWT, telah disampaikan kepada tujuan. Karena difahami bahwa safar adalah ujian atau musibah.
Nalar ini hendaknya selalu dibangun dalam diri insan profetis, karena ciri manusia dewasa adalah selalu tumakninah (tenang), mereka tidak berlebihan dalam merefleksikan sesuatu, tetapi selalu ingat kepada Allah SWT.
Yang kedua, boleh merayakan kemenangan
Merayakan kemenangan dalam Al Qur’an ditunjukkan pada lafal makanlah segala sesuatu yang kalian inginkan, yang enak-enak.
Dalam syariat dijelaskan bahwa merayakan kemenangan dibolehkan, hal itu diimplementasikan dengan Ied. Akan tetapi Ied dalam Islam selalu pula diawali dengan sholat, setelah itu menjadi hari makan dan minum, hari berbagi dan berhibur.
Akan tetapi yang menarik adalah objek perayaan dalam Islam adalah kebaikan, bukan hanya unsur duniawi, misal pasca puasa, pasca haji dan lainya. Mengapa? Karena kesuksesan tertinggi dalam Islam, kemenangan terbesar adalah ketika manusia mampu beribadah kepada ALLAH SWT dan mengikuti rasul Nya.
Sedangkan capaian duniawi adalah kecil, bahkan sering para nabi menangis karena capaian duniawi ini. Berbeda dengan manusia saat ini, mereka tidak pernah bahagia dengan capaian akhirat, tetapi bahagia dengan capaian duniawi, bahkan sedih ketika dunia harus berkurang. ”Rasulullah SAW bersabda, Siapa yang menjadikan dunia sebagai ujung akhir ambisinya, Allah akan pisahkan ia dengan yang diinginkannya (dunia), lalu Allah akan menjadikan kefakiran membayang di pelupuk kedua matanya. Padahal Allah sudah pasti akan memberikan dunia kepada setiap manusia sesuai dengan yang telah Ia tetapkan. Tapi siapa yang menjadikan akhirat sebagai ujung akhir ambisinya, maka Allah akan mengumpulkan dan mencukupi segala kebutuhannya di dunia. Lebih dari itu, Allah akan membuat hatinya menjadi kaya. Dunia akan selalu mendatanginya, meskipun ia enggan untuk menerimanya’. (HR Ibnu Majah dari Usman bin Affan)
Dalam hadis yang lain, Rasulullah SAW mengungkapkan, ”Siapa yang menjadikan ambisinya semata-mata untuk meraih akhirat, Allah akan mencukupi kebutuhan dunianya. Tapi siapa yang ambisi meraih dunianya bermacam-macam, Allah tidak akan pernah peduli dengan yang ia inginkan. Ia justru akan menemui kehancurannya sendiri.” (HR Ibnu Majah dari Abdullah bin Mas’ud).
Sementara itu, Allah SWT berfirman dalam sebuah hadis qudsi, ”Wahai anak cucu Adam, kalian mencurahkan segala ibadah hanya karena ingin ridla-Ku, pasti akan Aku penuhi hatimu dengan kekayaan. Aku juga akan tutup kefakiranmu. Jika tidak demikian, Aku akan penuhi hatimu dengan segala kesibukan. Aku juga tidak akan menutupi kafakiranmu.” (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
Coba kita renungkan manakah yang akan membuat kita lebih bahagia, manakah yang harus kita rayakan dalam hidup kita, capaian duniawi atau ukhrowi?
Nalar berfikir ini hendaknya menjadi kekuatan peradaban hari ini, kelemahan bangsa ini adalah hari hari selalu dipenuhi dengan perayaan yang jauh dari nilai akhirat,. Anak muda hanya bersenang-senang, ulang tahun, anniversary, louncing ini itu, dan seterusnya. Semuanya di rayakan, akan tetapi lupa akan siapa pemilik rezeki sebenarnya.
Andai saja, bangsa ini selalu menajamkan nalar fikir dan hatinya, tentu mereka akan membangun nuansa sujud, semakin besar capaian dunia semakin kuat sujudnya, sehingga mereka menjadi peradaban yang kuat dan tak mudah digoyahkan oleh peradaban sebelah.
Insan profetis sebagai pemegang peradaban risalah, hendaknya memahami hal ini, karena janji Allah SWT adalah wasanazidul muhsinin akan menambah bagi mereka yang selalu berbuat baik. Yang selalu bersyukur, bersujud kepada Allah SWT dalam capaian kenikmatan mereka, tidak terlena akan dunia mereka, dan fokus akan capaian yang membawa pada akhirat mereka. Karena mereka memahami dunia adalah lahan cocok tanam, akhirat tempat panen bagi mereka.
Seri Bahagia dengan Al-Qur’an
Penulis : Dr. M. Samson Fajar, M.Sos.I. (Dosen FAI UM Metro)