Profetika Kurban: Syukur dan Melayani Adalah Tugas Nabi dalam Membangun Peradaban

Profetika UM Metro – Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus,” (Surat Al-Kautsar ayat 1-3).

Berbicara Kurban dalam bulan Dzulhijjah adalah tema primer bagi orang-orang yang beriman, karena ini adalah amalan utama bagi mereka yang tidak berhaji. Dalam membangun dasar berfikir kurban mayoritas ilmuwan mendasarkan pada surat Al-Kautsar di atas. Surat terpendek dan sarat makna yang luar biasa, karena tak ada satupun atau kelompok manusia yang mampu membuat tandingan semisal ayat tersebut dalam segi bahasa maupun maknanya.

Pada kesempatan kali ini saya akan membahas kurban dalam prespektif nilai-nilai profetika, sebagai grand design berfikir dalam rangka membangun arah baru logika berfikir imaniah yang mencerahkan kehidupan manusia.

Dalam prespektif tafsir surat Al-Kautsar adalah berbicara akan ke Maha Murahnya Allah SWT akan karunia-Nya yang teramat agung yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. Ke-Maha Murahan itu di sebut dengan Al-Kautsar atau karunia yang sangat banyak.

Dalam tafsir Al-Kautsar dimaknai sebagai telaga atau sungai Al-Kautsar sebagai keistimewaan nabi di akhirat yang tidak diberikan kepada nabi-nabi sebelumnya.

Sebagaimana tertuang dalam hadits: Al-Kautsar adalah sebuah sungai (telaga) yang diberikan kepadaku oleh Tuhanku di dalam surga, padanya terdapat kebaikan yang banyak, umatku kelak akan mendatanginya di hari kiamat; jumlah wadah-wadah (bejana-bejana)nya sama dengan bilangan bintang-bintang. Diusir darinya seseorang hamba, maka aku berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya dia dari umatku.” Maka dikatakan, “Sesungguhnya kamu tidak mengetahui apa yang telah dibuat-buatnya sesudahmu.”(H.R. Ahmad)

Inilah makna Al-Kautsar secara khusus yang difahami secara ma’tsur berdasarkan periwayatan para sahabat.

Akan tetapi secara umum Ibnu Abbas dan Imam Jalaludi Al-Suyuti dalam tafsirnya memaknai sebagai kebaikan yang sangat banyak, berupa agama Islam, kenabian Muhammad SAW, Al-Qur’an, sholat lima waktu, umat terbaik dan seluruh kebaikan yang banyak (khairan katsira). Karena kata Al-Kautsar dalam pengertian bahasa berasal dari wazan fau’al. Bangsa Arab menamakan segala sesuatu yang melimpah baik kuantitasnya, atau besar kedudukan dan urgensinya dengan nama kautsar.

Sehingga dengan pengertian umum dan khusus tersebut dapat difahami bahwa Al-Kautsar adalah karunia yang sangat banyak dari Allah SWT yang diberikan kepada nabi Muhammad SAW baik secara umum (semua kebaikan) dan telaga Al-Kautsar (makna secara khusus) sebagai keistimewaan nabi di akhirat sebagai pelayanan kepada umatnya yang taat kepadanya.

Hakikatnya ayat ini ditujukan oleh pembicara yaitu Allah sebagai subjek (mutakallim) kepada Nabi Muhammad SAW sebagai objek (mukhotob). Akan tetapi implementasi dari ayat ini bukanlah khusus untuk nabi, akan tetapi berlaku umum setiap pribadi orang yang beriman. Sebagaimana dalam kaidah al ibratu bi umumi lafdzi la bi khususi sabab (maksud sesutu diambil dari umumnya lafadz bukan dari kekhususan sebab). Sehingga dapat difahami bahwa ayat ini untuk semua umat Islam dan mengimani.

Ayat tersebut membangun nalar profetis yang sangat luar biasa. Profetika adalah sesuatu yang bersifat kenabian, dan inti kenabian adalah menyampaikan risalah nabi sebelumnya. Oleh sebab itu mengapa ulama adalah pewaris para nabi, karena ulama adalah penyampai risalah nabi Muhammad SAW setelah sepeninggal beliau.

Apa yang bisa disampaikan oleh insan profetis dalam ayat tersebut?

Yang pertama adalah ungkapan syukur.

Ayat pertama surat Al-Kautsar menunjukan penegasan bahwa Allah SWT telah memberikan karunia yang sangat banyak. Dengan pemberian ini butuh sikap yang benar dan tepat. Sikap terbaik insan profetis adalah mensyukuri karunia tersebut.

Ungkapan syukur adalah bagaimana seorang hamba mengakui segala karunia Allah, terutama karunia iman dan Islam, bahwa itu adalah mutlak karunia Allah SWT. Insan profetis melepaskan kesombongan personalnya, bahwa seluruh capaian karunia tersebut dari usahanya dan kecerdasanya. Bahkan dia mengakui bahwa usaha dan kecerdasan yang dimilikinya adalah karunia Allah SWT. Dengan pengakuan totalitas inilah insan profetis akan menjadi insan paling tunduk kepada segala perintah Allah SWT sebagai rasa syukur kepada-Nya.

Logika syukur bukan hanya sebagaimana orang umum fahami, bahkan Rasulullah Saw digelari sebagai ‘abdan syakura karena beliau adalah orang yang selalu beribadah kepada Allah SWT dengan optimal dan luar biasa, sampai dikatakan kaki beliau bengkak, walau dosa beliau dijamin diampuni, dan beliau dijamin surga. Beliau setiap hari beristighfar seratus kali sebagai syukur kepada Allah SWT.

Peradaban syukur adalah tugas insan profetis untuk membangun dan menghadirkan dalam ruang kehidupan. Karena dari syukur itulah Allah SWT akan menambah segala karunia-Nya.

Ibadah kurban adalah sebagai konsekuensi syukur atas segala nikmat Allah SWT, dengan simbol setiap Iedul Adha menyembelih binatang ternak yang paling baik dan sempurna. Simbol syi’ar ini hakikatnya menjadi pesan ilahi bagi mereka yang hidup logika imaniahnya, sebagai perintah berkurban dalam segala bidang baik harta maupun jiwa, sebagai rasa syukur kepada Allah SWT.

Insan profetis tidak akan merasa berat melakukan pengorbanan, baik simbolis pada syariat kurban bulan Zulhijjah, ataupun kurban dalam setiap waktu sebagai ungkapan syukur.

Yang kedua kurban adalah simbol pelayanan.

Spirit profetika yang dibangun oleh Nabi Muhamamd Saw adalah melayani (Khidmah). Rasulullah Saw adalah nabi yang selalu melayani umatnya baik di dunia maupun di akhirat. Bahkan telaga Kautsar dalam hadits di atas adalah bentuk layanan spesial nabi atas karunia Allah SWT kepada umatnya.

Insan profetis harus melayani umat dengan jiwa, raga dan hartanya. Tanpa memiliki kepentingan apapun kecuali harapan ridho Allah SWT.

Sebagai ilmuwan maka insan profetis akan melayani umat dengan ilmunya secara totalitas, ikhlas dan berharap ridho Allah SWT.

Seorang politikus hendaknya melayani masyarakat dengan ikhlas, dan mengedepankan kepentingan rakyat dari dirinya sendiri, karena itu jiwa profetik nabi, yabg harus menghabiskan harta untuk umat.

Inilah logika melayani, maka mengapa kurban adalah berbagi, berbagi dalam rangka melayani umat. Bahkan melayani dengan yang terbaik.

Insan profetis akan mampu memberikan layanan kepada siapapun dengan yang terbaik, sebagaimana kurban dengan hewan terbaik. Pelayanan optimal ini atau service exelent akan melahirkan peradaban umat yang bahagia dan terhormat.

Dua profetika Kurban di atas untuk menyadarkan kita bahwa kurban memiliki pesan ilahiah yang sangat luar biasa dalam kehidupan. Dengan memahami ini, maka insan profetis tak akan merasa berat sedikitpun untuk berkurban. Tanpa di takut takuti, tanpa dipaksa. Tetapi mereka berkurban sebagi syukur dan layanan kepada umat, sebagai tanggung jawab profetika dirinya.

Seri Bahagia dengan Al-Qur’an, Edisi Spesial Dzulhijjah
Penulis : Dr. M. Samson Fajar, M.Sos.I. (Dosen FAI UM Metro)