Ngobrol Enteng Entengan tentang “Pluralisme Beragama”

Profetik UM Metro – Allah SWT Berfirman : “ Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang sabi’in, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (al baqarah ayat 62)

Kewajiban orang beriman, yang mengimani al Qur’an adalah membaca dan memahami al Qur’an, minimal setiap hari ada progress pemahaman terhadap al Qur’an yang kita yakini kebenaranya. Tulisan saya setiap hari hakikatnya untuk mengamalkan hal tersebut, memberi manfaat kepada diri sendiri dan andaikata memberikan pemahaman dan pencerahan kepada masyarakat adalah sebuah kesyukuran yang luar biasa. Tentu tulisan ini bukanlah finish understanding, akan tetapi sebuah pemahaman sesuai kemampuan daya hati dan nalar yang Allah SWT karunikan.

Hari ini kita mendapatkan satu ayat sebagai kesimpulan akan kisah-kisah Bani Israil, bahkan ayat ini sering menjadi dalih bagi mereka yang memiliki pemahaman pluralisme dan wihdatul adyan (kesatuan agama). Dua hal inilah yang akan kita renungi bersama agar menambah khasanah ilmu kita, dan juga menguatkan sisi tauhid kita kepada Allah SWT.

Yang pertama, Yahudi, nasrani, sabiin sebelum Kedatangan Nabi Muhammad saw.

Asbabun Nuzul ayat ini hakikatnya, Riwayat pertama, dari Abu Hatim, dan Al-Adani dalam Musnad-nya dari jalur Ibnu Abi Najih dari Mujahid berkata, “Saya bertanya kepada Nabi SAW tentang penganut agama yang aku dahulu pernah menganutnya, maka aku menyebutkan sholat mereka dan ibadah mereka, maka turunlah ayat 62 surat al baqarah ini: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang sabi’in, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.

Jika melihat sebab turunya ayat tersebut mengindikasikan bahwa ayat ini berlaku untuk mereka orang Yahudi, Nasrani dan Sabiin sebelum diutusnya Nabi Muhammad sawt. Karena setelah diutusnya Nabi Muhammad saw maka agama yang diterima adalah Islam, konsekwensi iman orang yahudi dan nasrani adalah mengimani Nabi akhir zaman yaitu Nabi Muhammad saw.

Keimanan umat terdahulu dan amal sholih mereka, mendapatkan pahala dan balasan yang sesuai dengan apa yang mereka lakukan, mereka mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sebagaimana orang-orang beriman setelah kedatangan Nabi Muhammad saw. Sehingga keimanan mereka tidaklah sia-sia.

Disinilah Islam mengakui eksistensi keimanan umat sebelum kerasulan Nabi Muhammad saw, karena hal inilah logika yang benar. Ibarat dalam sebuah konstitusi, ada istilah amandemen undang-undang. Sebelum adanya amandemen maka yang berlaku adalah kontitusi yang lama, sampai datang konstitusi yang baru yang menghapus atau memperbaharui konstitusi yang lama.

Kita melihat sejarah, bagaiman Bukhaira seorang pendeta yang ditemui oleh Abu Thalib, yang menceritakan akan nubuwah Muhammad saw, sehingga dia meminta Abu Thalib menjaga Nabi Muhammad saw. Juga Nama ahli kitab yang juga merupakan salah satu saudara khadijah ( sepupu khadijah ) yang membenarkan bahwa nabi muhammad telah diutus sebagai rasul Allah adalah waraqah bin naufal. Waraqah bin naufal merupakan seseorang yang pada saat itu pemeluk agama nasrani. Mereka adalah contoh orang yang memegang teguh ajaran Taurat dan Injil sebelum datangnya kerasulan Muhammad saw, merekalah yang akan mendapatkan pahala sebagaimana ayat di atas.

Yang kedua, Bantahan Dalih Pluralisme dan wihdatul adyan (kesatuan agama)

Surat al Baqarah ayat 62 ini juga sering menjadi dalih bagi para pegiat pluralisme dan penyatuan agama, bahkan sering menggunakan dasar tafsir Buya Hamka untuk “mengakui” kebenaran Yahudi dan Nasrani bahkan Sabi’in setelah kerasulan Muhammad saw, bahkan mereka tetap mendapatkan pahala sebagaimana umat Muhammad saw.

Buya Hamka dalam tafsir mengatakan bahwa hakikat Islam adalah percaya kepada Allah SWT dan hari akhir, sehingga orang yahudi, nashrani dan shabiin yang mereka beriman kepada Allah dan hari akhir maka mendapatkan posisi yang sama dengan Islam. Hal ini dimaksudkan agar meminimkan fanatik beragama, sehingga akan terwujud kedamaian serta saling menghargai, menghormati dalam kehidupan beragama, karena Islam maupu agama lain mendapatkan porsi yang sama.

Penulis tidak mengatakan pendapat Buya Hamka salah, beliau orang Alim, Faqih, Mutashawif yang bijak, akan tetapi kearifan beliau sering menjadi dasar bagi pegiat pluralisme untuk membiaskan ajaran Islam, bahwa agama apapun sama, semuanya benar, semuanya punya kamar surga. Hal ini sangat berbahaya dalam konteks akidah tauhid dalam Islam.

Bantahan pertama, banyak pegiat pluralis membaca ayat ini keluar konteks, mereka hanya menafsiri lafadz saja, walau hal itu kadang boleh dilakukan. Ayat ini memiliki asbab nuzul yang jelas, menunjukan kisah umat terdahulu, bahkan masih sangat terkait dengan kisah Bani Israil dengan Nabi Musa as, dalam istilah ulumul Qur’an munasabah ayat. Sehingga memahami ayat dengan lepas dari konteksnya akan membahayakan bagi mereka yang tidak memahami, karena generalisasinya tentu akan berbeda.

Bantahan kedua, ayat ini bukan dalil pluralisme (mengakui semua agama benar) karena Allah SWT menyatakan dalam surat Ali Imran ayat 85: Dan barangsiapa yang mencari selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali tidaklah tidaklah akan diterima daripadanya. Dan di Hari Akhirat akan termasuk orang-orang yang rugi. Ayat ini banyak perdebatan apakah telah menasakh (menghapus) al baqarah ayat 62 atau tidak. Bagi mereka yang menyatakan risalah Muhammad sebagai agama terakhir, maka ayat ini menghapus, tetapi bagi mereka yang ingin menyamakan status keagamaan maka ayat ini tidak menghapus, karena yang dimaksud Islam bukan agama, tetapi kepasrahan sebagaimana Ibrahim as selalu menyatakan dalam al-Qur’an.

Bagi penulis, pluralisme agama atau menganggap semua agama benar dan diterima Allah swt setelah kerasulan Muhammad saw adalah hal yang bertentangan dengan konsepsi risalah nabi sebelum Muhammad saw, karena mereka telah berpesan akan lahir nabi akhir zaman Muhammad saw, maka ikutilah dia. Sehingga konsekwensi iman mereka harusnya mengikuti perintah Nabi Mereka, Musa, Isa dan yang lainya. Ketika mereka ingkar, dan bersikukuh dengan ajaran sebelumnya maka berarti mereka masih bersikukuh dengan risalah yang sudah diperbaharui oleh nabi setelahnya, tentu logika kontitusi tidaklah diterima, karena kontitusi baru sudah diberlakukan,

Bagi penulis, Islam agama yang mengakui pluralitas (perbedaan) tetapi menolak pluralisme. Banyak ayat menerangkan bahwa Islam agama yang mengakui perbedaan, bahkan perbedaan keyakinan, sehingga tidak perlu memaksakan ayat ini untuk membangun konsep menyatukan agama dalam satu pandangan. Bahkan Allah SWT menyatakan, mampu membuat satu agama, tetapi Allah SWT tidak lakukan, karena disitulah ujian logika dan nalar manusia.

Bagi penulis, jika menganggap agama Islam paling benar menyebabkan fanatik dan ketidak harmonisan dunia, adalah sebuah kesalahan, karena Islam sangat menghargai semua agama, bahkan melarang memaksakan agama. Kedamaian bukan didapatkan dari kesatuan ideologi, tetapi saling memahami dalam kehidupan. Islam melarang mencela agama-agama, mencela Tuhan yang diyakini orang beragama, islam mengajarkan untuk toleransi dalam ibadah orang beragama, bahkan membantu orang yang berbeda. Bahkan rosulullah menyampaikan siapa yang memusuhi ahli dzimmah sama dengan memusuhinya.

Sehingga konsepsi Islam sangat sempurna, kefahaman oknum yang masih terus diperbaharui. Serta tidak perlu membangun sebuah konsepsi berfikir pluralisme yang terkesan memaksakan untuk membangun narasi perdamaian dan harmonisasi. Karena hal ini menunjukan kesalahan berfikir (logical fallacy) kita dalam memahami kitab suci, cukup memahami kitab suci dengan sistematika yang benar akan kita temukan konsep perdamaian universal dalam al-Qur’an.

Insan profetis hendaknya membangun narasi berfikir yang tepat, bukan memaksakan nalar qur’ani kepada konteks yang ada, demi menyesuaikan keinginan konteks. Hal inilah yang membuat kerusakan agama-agama dalam sejarah, ketika agama harus disesuaikan dengan kultur yang ada dengan pola fikir memaksakan. Sedangkan agama hadir untuk membangun kebaruan, memajukan dan memberdayakan. Agama hadir untuk perdamaian bukan penghancuran. Hanya bagaimana kita memahami Islam dengan benar, bukan dengan ego dan nafsu syahwat baik pribadi maupun gologan.

Seri Bahagia dengan Al-Qur’an
Penulis : Dr. M. Samson Fajar, M.Sos.I. (Dosen FAI UM Metro)