
Profetik UM Metro – Allah SWT berfirman: “Dan sesungguhnya telah kalian ketahui orang-orang yang melanggar di antara kalian pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka, “Jadilah kalian kera-kera yang hina.” (Al Baqarah ayat 65).
Setiap membaca Al Qur’an kita akan menemukan nalar berfikir yang sangat luar biasa, Al Qur’an memetakan nalar berfikir yang benar dan nalar berfikir yang salah. Al Qur’an memberikan realitas sejarah bagi mereka yang mampu berlogika iman dan berlogika kufur.
Semakin menikmati alunan indah Kalam ilahi, semakin kita merasa dibuat tidak berdaya akan segala pengetahuan kita, karena Al Qur’an mengandung segala kebaikan, lafadz, makna dan tatbiqan (implementasi).
Hari ini kita akan mengulik satu nalar dalam Al Qur’an yaitu pragmatisme. Pragmatisme hakikatnya aliran filsafat yang mengedepankan sisi manfaat, untuk membuktikan sesuatu itu benar atau tidak. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu-individu.
Dasar dari pragmatisme adalah logika pengamatan, di mana apa yang ditampilkan pada manusia dalam dunia nyata merupakan fakta-fakta individual, konkret, dan terpisah satu sama lain. Sehingga nalar fikir inilah yang membentuk manusia akhir zaman ini, ketika semua harus diukur dengan sisi kemanfaatan yang bersifat empiris.
Mengapa ada istilah halal haram hantam, karena mereka melihat pada sisi manfaat, menguntungkan pada diri mereka sendiri. Ketika keuntungan dapat dihadirkan, mengkayakan, maka hal itu sah saja untuk dilakukan.
Faham ini menjadikan manusia, akan selalu mengukur dengan apa yang akan di dapatkan dalam dirinya. Bahkan dalam dunia akademik, banyak yang menjalani perkuliahan hanya melihat program keilmuan yang paling banyak memberikan peluang pekerjaan, sehingga program Keilmuan pasti akan sepi peminat. Apalagi program keagamaan yang tidak akan dapat didekati dengan pola fikir ini.
Hakikatnya cara berfikir ini tidak salah mutlak, karena manusia juga membutuhkan pragmatis, untuk mengukur sisi kemanfaatan duniawi. Kelemahan pola fikir ini hanya melihat manfaat pada sisi duniawi, sisi pengamatan empiris, tidak melihat sisi spiritual, moral bahkan sosial.
Dalam Al Qur’an pola fikir pragmatisme ini juga pernah menjadi jalan fikir Bani Israil ketika dalam kasus hari Sabtu (sabat). Ketika Bani Israil diberikan Allah hari raya hari Jumat, akan tetapi mereka memilih hari Sabtu sebagai hari raya. Karena prilaku mereka yang senang merubah syariat Allah, maka Allah menguji mereka dengan membiarkan menghormati hari Sabtu, akan tetapi hari itu mereka mendapatkan banyak larangan, terutama larangan mencari ikan dan makan ikan.
Ketika Bani Israil menaati sebagai hari raya, maka Allah SWT membuat hari itu adalah hari ikan, di mana ikan-ikan muncul di permukaan, dan sangat mudah ditangkap. Sedangkan hari lain, ikan ikan tidak nampak dan sangat sulit ditemukan.
Karena ujian ini, Bani Israil merasa ingin sekali makan ikan, akhirnya mereka membuat khilah (tipuan) dengan memasang jaring hari Sabtu, mengangkat hari Ahad, dan memasaknya. Dengan anggapan mereka aman, karena tidak pada hari Sabtu. Akan tetapi dengan prilaku ini, Allah SWT mengutuk mereka menjadi kera yang hina.
Kutukan dalam tafsir bermakna dua, maknawi dan Suwari. Maknawi artinya mereka bukan berubah jadi kera sebenarnya, akan tetapi perilaku mereka seperti kera, yang serakah, dan penuh tipu muslihat. Mereka seakan melakukan kebaikan tapi keburukan yang sangat besar. Mereka hanya berfikir mendapatkan keuntungan, dan tidak mampu menahan diri walau Allah SWT melarangnya.
Makna Suwari kutukan adalah mereka dikutuk secara dzahir, mereka ketika setelah makan ikan, maka mereka mengurung diri di rumah, beberapa hari, sehingga kota sebelah merasa curiga, dan mereka melihatnya, Ternyata mereka dan keluarga mereka berubah menjadi kera. Namun mereka tidak bertahan lama, lalu binasa.
Apa yang dilakukan oleh Bani Israil, adalah prilaku pragmatisme, mereka hanya berfikir menguntungkan pada diri mereka, mereka berfikir pendek (sumbu pendek), tidak melihat akibat yang sangat banyak jika melakukan itu, efek diri, keluarga, masyarakat dan agama mereka.
Bahaya pragmatisme adalah berfikir sumbu pendek. Mereka hanya melihat sisi keuntungan, kurang melihat sisi kebaikan lainya. Misal para koruptor, mereka berfikir selama menjabat mampu mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, tapi lupa ada janji yang dilanggar, ada hukuman bagi pelaku korupsi, ada siksa di akhirat, ada anak dan keluarga yang dikorbankan, tetapi keuntungan duniawi melupakan mereka.
Para pelaku teror juga akibat pola fikir pragmatisme, bukan semata ideologis, karena mereka adalah orang-orang putus asa, dengan imbalan sekian maka mereka dapat memberikan keluarga harta. Adapun pengaruh ideologis, itupun ideologi pragmatisme, artinya selalu di doktrin dengan surga, bidadari dan jaminan yang abstrak. Mereka tidak diajarkan ilmu dengan baik, sehingga mampu berfikir panjang, apa akibatnya jika melakukan ini, antara keuntungan dan kerusakan besar mana, fikiran ini mereka abaikan.
Jika penyakit logika ini menggejala, kita khawatir akan banyak kera-kera modern yang lahir, mereka berani membuat khilah (tipu daya) berdasarkan hukum bahkan agama, atau hasil riset dan seterusnya, hanya untuk melancarkan kepentingan dirinya. Tapi mereka tidak berfikir panjang akibat apa yang mereka lakukan, misal kerusakan lingkungan, kemiskinan, kerusakan moral, kerusakan agama, keluarga dan yang lainya.
Maka insan profetis, hendaknya menaikan pola Fikir pragmatis menuju humanis bahkan spiritualis. Agar semua yang menguntungkan bukan untuk dirinya saja tetapi untuk semua manusia dan alam semesta, bukan hanya di dunia tetapi di akhirat. Sehingga kita akan terhindar dari kutukan kera kehidupan.
Seri Bahagia dengan Al-Qur’an
Penulis : Dr. M. Samson Fajar, M.Sos.I. (Dosen FAI UM Metro)