Kebiasaan Mengganti Perintah dengan Olok-olokan

Profetik UM Metro – Allah SWT berfirman: Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. (Al-Baqarah: 59)

Ada penyakit logika dan hati yang sangat berbahaya saat ini, dan penyakit ini adalah penyakit Bani Israil, yaitu kebiasaan mengolok-olok perintah Allah SWT.

Sebelum kita membahas secara kontekstual, kita bahas secara historis ayat tersebut. Hakikatnya ayat tersebut sebagai kelanjutan ayat sebelumnya, setelah mereka sampai di Baitul maqdis, maka Allah SWT perintahkan mereka untuk bersujud, bersyukur karena mereka telah selamat, dan sampai ke kampung halaman dengan selamat, bahkan Allah SWT berikan kebebasan untuk makan dan minum segala sesuatu yang enak.

Akan tetapi perintah sujud tersebut ternyata tidak sesuai dengan nalar mereka, mengapa malah bersujud? Dengan inilah mereka berani mengganti perintah ini dengan olok-olok yang keji, sebagaimana dalam Al Qur’an:

فَبَدَّلَ الَّذِينَ ظَلَمُوا قَوْلا غَيْرَ الَّذِي قِيلَ لَهُمْ فَأَنزلْنَا عَلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا رِجْزًا مِنَ السَّمَاءِ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ

Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang zalim itu siksa dari langit, karena mereka berbuat fasik.

Kebiasaan Mengganti Perintah Allah dengan olok-olok adalah perbuatan orang orang dzalim. Karena mereka tidak memahami, bahwa semua perintah Allah adalah kebaikan. Tetapi ketika mereka meninggalkan atau mengganti dengan apa yang mereka anggap baik (asumsi) maka itu bukan kebaikan, tetapi mereka menghancurkan diri mereka sendiri (dzalim Li nafsih). Inilah kesalahan nalar mereka yang akhirnya, Allah SWT menurunkan azab dari langit (rijzan Minassama’).

Bani Israil sebenarnya sangat sederhana, mereka mengganti perintah sujud menjadi mengesot dan mengganti kalimat khittah (ampunan) menjadi khintah (gandum) . Sebagaimana dalam hadits :

دَخَلُوا الْبَابَ -الَّذِي أُمِرُوا أَنْ يَدْخُلُوا فِيهِ سُجَّدًا-يَزْحَفُونَ عَلَى اسْتَاهِهِمْ، وَهُمْ يَقُولُونَ: حِنْطَةٌ فِي شُعَيْرَةٍ”

Mereka memasuki pintu gerbang —yang mereka diperintahkan untuk memasukinya sambil sujud— dengan mengesot, seraya mengucapkan “Hintah fi sya’irah”

Penggantian ini sangat sederhana, tetapi hal ini bentuk kesombongan dan keraguan akan perintah Allah SWT. Ragu akan perintah Allah, kemudian membangun asumsi berdasarkan logika nafsu adalah sebuah kedzaliman yang sangat besar. Wajar Allah SWT memberikan azab, dalam hadits azab tersebut adalah tha’un, belum lagi di akhirat, neraka yang menyala-nyala.

Penyakit kerusakan nalar ini sangat berbahaya, dan di dunia kita saat ini sangat menggejala, dengan lahirnya banyak ilmuwan yang menggunakan pendekatan Utilitarianisme. Utilitarianisme merupakan suatu paham etis yang berpendapat bahwa yang baik adalah yang berguna, berfaedah, dan menguntungkan.

Paham ini hakikatnya tidak salah, ketika membangun nalar bahwa kebaikan itu yang memiliki manfaat. Akan tetapi manfaat disini bukan hanya duniawi tetapi ukhrawi.

Kesalahan besar ketika menganggap kebaikan adalah segala yang manfaat terhadap kehidupan dunia mereka saja, inilah yang terjadi pada Bani Israil, ketika menganggap sujud sesuatu yang tidak manfaat, sedangkan sujud adalah manfaat terbesar hamba di akhirat. Mereka menganggap yang bermanfaat adalah gandum, sebagai simbol duniawi mereka.

Saat ini banyak ilmuwan pemikir yang melakukan pembiasan perintah Allah dan syar’iat Allah SWT dengan pendekatan utilitarianisme ekstrim ini. Mereka selalu mendekati agama, membangun kesimpulan agama dengan relasi sosiologis, psikologis, ekonomi, HAM dan lain sebagainya. Seakan ketika ada ketidak sesuaian, maka agama perlu dilakukan rekonstruksi.

Walau senyatanya, rekonstruksi adalah suatu hal yang positif, akan tetapi ketika ini menjadi latah para pemikir, akhirnya merusak norma nilai Islam yang paten (qath’i) maka akan sangat berbahaya.

Sampai akhirnya kondisi ini melahirkan keraguan bagi umat akan syariat agamanya sendiri. Contoh, betapa takutnya umat Islam berbicara akan syariat qishas, syariat waris, syariat jihad, syariat poligami dan lain sebagainya. Semua itu seakan selalu dilihat pada lefel manfaat duniawi belaka, sedangkan dalam syariat itu ada manfaat ukhrowi yang sangat besar. Tidak kalah juga, pada syariat tersebut banyak hikmah yang terkandung dalam kehidupan manusia, tetapi nafsu manusia yang menutup nalar kritis positif manusia, akhirnya menjadikan mereka lalai.

Penyakit selalu mengukur syariat dengan pendekatan materi, duniawi ini menjadikan Allah SWT murka, kemurkaannya dapat dilihat dari kerusakan sistem sosial manusia, dan banyaknya masalah kesehatan, ekonomi dan lain sebagainya. Hal ini terjadi hanya pada wilayah muslim, karena mereka yang mendapatkan taklif syariat saja. Bagi negara yang tidak muslim, maka berlaku hukum istidraj.

Insan profetis tentu manusia yang memiliki nalar iman yang baik, nalar positif yang selalu melihat syariat dengan positif, sehingga yang ada adalah ketaatan. Andaikan ada syari’at yang seakan tidak sesuai dengan konteks sosial, psikologi, hukum, ekonomi, HAM dan lainya, maka mereka membangun logika dengan benar. Karena syariat adalah objek ukur, instrumen ukurnya adalah ilmu pengetahuan dan realitas. Ketika objek dan instrumen tidak sesuai, bukan objeknya yang disalahkan, tapi instrumentnya yang disesuaikan.

Kesalahan logika hari ini, mereka memaksakan instrumen untuk merubah objek, sehingg objeknya menjadi tidak jelas. Tugas manusia seharusnya membangun instrumen berfikir yang benar, untuk memahami syariat, bukan karena ketidak mampuanya, lalu melakukan perubahan syariat. Menurut saya ini bentuk keputus asaan akademik, dan ketidak mampuan nalar positif mereka.

Seri Bahagia dengan Al-Qur’an
Penulis : Dr. M. Samson Fajar, M.Sos.I. (Dosen FAI UM Metro)