Jangan Lacurkan Kitab Suci

Profetik UM Metro – Allah berfirman: Dan berimanlah kalian kepada apa yang telah Aku turunkan (Al-Qur’an) yang membenarkan apa yang ada pada kalian (Taurat) dan janganlah kalian menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kalian menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kalian harus bertakwa.(Al Baqarah ayat 41)

Ketika kita menikmati suguhan Al Qur’an dengan berbagai metodenya maka yang harus kita rasakan adalah bagaimana kita sedang berhadapan dengan Allah SWT.

Dalam ayat di atas Allah SWT menggunakan metode imperatif dalam menggugah ruh manusia, karena metode ini lebih tegas dan lugas, penuh konsekuensinya.

Kalimat imperatif merupakan kalimat yang berisi perintah terhadap sesuatu. Pemberian perintah ini bisa berupa lisan maupun secara tertulis.

Secara umum, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, imperatif bersifat memerintah atau memberi komando; mempunyai hak memberi komando; bersifat mengharuskan

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pada ayat selanjutnya, yaitu melalui firman-Nya:

{وَآمِنُوا بِمَا أَنزلْتُ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَكُمْ}

Dan berimanlah kalian kepada apa yang telah Aku turunkan (Al-Qur’an) yang membenarkan apa yang ada pada kalian (Taurat). (Al-Baqarah: 41)

Yang menunjukkan imperatif adalah aaminu perintah beriman kepada apa yang Allah SWT turunkan yaitu Al Qur’an sebagai pembenaran akan taurat.

Ada hal yang menarik dalam kalimat anzaltu (Aku turunkan). Mengapa? Karena secara dominan, Allah SWT sering menggunakan domir jamak (kata ganti plural ) ketika berbicara tentang sifat rububiyah Nya, misal anzalna, arsalna, dan lain sebagainya. Tetapi pada konteks ini Allah menggunakan kata anzaltu yang biasanya domir tunggal digunakan pada sifat uluhiyah Nya.

Saya menikmati bahasa Al Qur’an ini, karena dengan menyebut kata ganti singular atau mufrad Allah seakan menegaskan bahwa Al Qur’an itu mutlak dari Allah, tidak ada karya manusia sedikit pun. Sehingga dia adalah pembenar dari taurat yang diyakini oleh Yahudi Bani Israil. Karena memang Yahudi begitu antipati dengan Nabi Muhammad Saw.

Demikianlah indahnya Al Qur’an, setiap kata memiliki makna yang tersembunyi, bahkan penggunaan kata ganti, misal dalam surat Yusuf ayat 30;

وَقَالَ نِسْوَةٌ فِى ٱلْمَدِينَةِ ٱمْرَأَتُ ٱلْعَزِيزِ تُرَٰوِدُ فَتَىٰهَا عَن نَّفْسِهِۦ ۖ قَدْ شَغَفَهَا حُبًّا ۖ إِنَّا لَنَرَىٰهَا فِى ضَلَٰلٍ مُّبِينٍ

Dan wanita-wanita di kota berkata: “Isteri Al Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya), sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam. Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata”.

Ayat ini salah satu yang menarik, ketika Allah menggunakan kata ganti laki-laki pada subjek perempuan, wa qala niswatun seharusnya wa qalat niswatun  hal ini menggambarkan bahwa wanita di zaman nabi Yusuf itu sudah seperti laki-laki, karena lebih berani mengejar lelaki dari pada rasa malunya, seharusnya lelaki yang mengejar perempuan.

Sehingga bagi para insan profetis harus banyak memahami ketika ingin menggunakan bahasa Arab, jangan sampai salah kata ganti karena juga bisa bermakna beda. Misal syafakallah untuk lelaki, syafakillah untuk perempuan.

Demikianlah indahnya bahasa Arab, surat Al Baqarah 41 ini menegaskan untuk mengimani Al Qur’an yang menjadi pembenar taurat.

Perintah ini mutlak, karena setelah Al Qur’an turun maka Al Qur’an menjadi risalah baru penyempurna yang harus diikuti oleh semua manusia. Sehingga Allah SWT mengatakan, _

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

{وَلا تَكُونُوا أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ}

Dan janganlah kalian menjadi orang yang pertama kafir kepadanya. (Al-Baqarah: 41)

Adapun mengenai firman-Nya, “Awwala kafirin bihi,” artinya orang pertama yang kafir kepadanya dari kalangan Bani Israil, mengingat banyak orang yang kafir kepadanya lebih dahulu daripada mereka, yaitu dari kalangan orang-orang kafir Quraisy dan lain-lainnya dari kalangan orang-orang Arab.

Sesungguhnya makna yang dimaksud dari kalimat ‘hanya kaum Bani Israil sebagai orang pertama kafir kepadanya’, mengingat orang-orang Yahudi Madinah merupakan orang pertama dari kalangan Bani Israil yang diajak berbicara oleh Al-Qur’an. Kekafiran mereka berarti menyimpulkan bahwa mereka adalah orang pertama kafir kepadanya dari kalangan ahli kitab.

Dalam logika, seharusnya orang Yahudi adalah yang paling pertama masuk Islam, karena dalam taurat sudah nampak alamat kenabian, akan tetapi fakta berbeda ketika Al Qur’an turun, mereka adalah kaum yang mendustakan dan kafir pertama kalinya, sedangkan yang belum pernah mendapatkan kitab suci mereka mengimani.

Inilah penyakit fitnah ilmu, merasa mengetahui dan merasa memiliki ilmu, kadang lebih sulit menerima pengetahuan baru dari orang lain, bahkan menentang tetapi tidak membuka hati dan fikiran untuk mencerna.

Kekafiran mereka adalah bukan karena kebodohannya, tetapi karena kesombongan mereka, mereke memahami bahwa Al-Qur’an itu benar, Muhammad adalah benar, tetapi mereka ingkari.

Kemudian penyakit orang Yahudi adalah menjual ayat Allah dengan murah.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

{وَلا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلا}

Dan janganlah kalian menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah. (Al-Baqarah: 41)

Sasaran utama ketika ayat ini diturunkan adalah sebagai peringatan untuk para pembesar yahudi, seperti Huyai bin Akhtab, Ka’ab al-Asyraf, atau pemuka yahudi lainnya. Sebelum islam datang, para pemuka yahudi mendapatkan upeti dan uang sogokan dari masyarakatnya. Setiap kali mereka mengeluarkan fatwa atau membacakan taurat, atau melakukan ritual yahudi, mereka diberi bayaran oleh masyarakat.

Banyak masyarakat sekitar Madinah, baik yahudi maupun orang musyrik, yang menjadi korban mereka.

Pada saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin tiba di madinah, mereka khawatir, jika nanti sampai banyak masyarakat Madinah, terutama yang yahudi masuk islam, maka mereka tidak lagi mendapatkan uang upeti, sogok atau minimal pemasukan mereka akan berkurang.

Karena alasan ini, mereka berusaha menghalangi masyarakat Madinah, terutama masyarakat yahudi, agar tidak mengikuti dakwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. padahal mereka tahu dengan yakin, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah nabi terakhir seperti yang disebutkan dalam taurat

Ibnu Katsir menyatakan, Maknanya, janganlah kalian mengambil dunia, dengan sengaja menyembunyikan penjelasan, informasi, dan tidak menyebarkan ilmu yang bermanfaat kepada masyarakat, serta membuat samar kebenaran. Agar kalian bisa mempertahankan posisi kepemimpinan kalian di dunia yang murah, rendah, dan sebentar lagi akan binasa. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/244).

Prilaku melacurkan ayat Allah yang dilakukan oleh Yahudi demi kepentingan dunia ini kadang juga terjadi, bagi para ulama yang mereka menginginkan kekuasaan, harta dan apapun itu yang terkait dunia, sering membuat fatwa yang menguatkan posisi mereka, mendukung penguasa untuk mendapatkan keuntungan.

Hal ini harus dihindari oleh para ulama yang memahami agama, agar tidak terjerumus kedalam pelacuran ayat ini.

Ayat ini tidak menjadi dasar bagi mereka yang mendapatkan honor mengajar membaca Al Qur’an, tetapi lebih kepada keculasan hati dan fikiran, dengan sengaja mencari keuntungan dengan berlindung pada ayat ayat Allah SWT.

Insan profetis harus menghindari diri dari sifat lacur ini, sampaikan ayat Allah SWT sebagaimana Allah jelaskan dalam Al Qur’an, sampaikan Sunnah Rasul sebagaimana rasul ajarkan, jangan diubah-ubah demi kepentingan pribadi yang tak akan ada habisnya. Hancurnya dunia, salah satunya Krena banyaknya ulama suu’ dan ilmuwan yang lacur akan kebenaran ilmunya, semua ditutup demi kepentingan duniawi.

Seri Bahagia dengan Al-Qur’an!
Penulis: Dr. M. Samson Fajar, M.Sos.I. (Dosen FAI UM Metro)