Implementasi Khittah Muhammadiyah untuk Menuju Keunggulan

Implementasi Khittah Muhammadiyah untuk Menuju Keunggulan

Opini UM Metro – Khittah artinya garis besar perjuangan. Dalam Khittah terkandung konsepsi (pemikiran) perjuangan yang merupakan tuntunan, pedoman, dan arah perjuangan. Dalam muhammadiyah khittah mempunyai arti penting karena menjadi landasan berpikir dan beramal bagi semua pimpinan dan anggota Muhammadiyah. Garis-garis besar perjuangan Muhammadiyah tersebut tidak boleh bertentangan dengan asas dan tujuan serta program yang telah disusun. Isi dari khittah tersebut sesuai dengan tujuan Muhammadiyah, tidak bertentangan dengannya dan disusun sesuai dengan perkembangan zaman.

Berbeda dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah, kedudukan khittah dalam persyarikatan memiliki posisi yang unik. Jika AD/ART merupakan landasan dalam menggerakkan persyarikatan sebagai sebuah organisasi, maka khittah menjadi landasan berbuat dan berperilaku anggota Muhammadiyah, baik dalam kehidupan pribadi, kehidupan sosial maupun dalam pengambilan kebijakan organisasi. Sebab itu, disamping AD/ART Muhammadiyah, Khittah Muhammadiyah juga harus dijadikan landasan dalam persyarikatan. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika semua anggota dan simpatisan Muhammadiyah harus memahami dengan baik khittah Muhammadiyah sebagai sejarah dinamika pemikiran dan garis perjuangan persyarikatan Muhammadiyah.

Dalam usianya yang sekarang ini, Muhammadiyah telah melahirkan enam (6) khittah, di mana masing-masing khittah merupakan produk pemikiran dan suasana batin warga Muhammadiyah di saat khittah itu diputuskan. Khittah-khittah yang telah ditetapkan sebagai garis perjuangan itu akan tetap berlaku sepanjang waktu selagi masih relevan dan belum dibatalkan oleh khittah sesudahnya.

Khittah pertama adalah khittah 12 Tafsir Langkah Muhammadiyah 1938 – 1940. Khittah ini lahir karena dirasakan adanya kelesuan dalam semangat berjihad dan berorganisasi atau semangat bermuhammadiyah. Semangat itu perlu dibangunkan kembali dengan memperkuat keimanan dan keislaman, menggembirakan dakwah Islam dengan pemahaman ajaran Islam yang luas, serta menggiatkan organisasi. Kalau kita membaca sejarah keputusan tentang khittah 12, disana dinyatakan bahwa  atas dasar itu, maka Hoofdstuur Muhammadiyah ( PP. Muhammadiyah saat itu) dengan sungguh-sungguh melangsungkan langkahnya yang lebih luas dan menetapkan jejaknya yang kokoh dalam tahun 1938 – 1940, akan melakukan 12 hal.

Langkah pertama adalah memperdalam masuknya iman, yaitu hendaklah iman itu ditablighkan ( disampaikan), disiarkan dengan selebar-lebarnya, diberi riwayatnya dan diberi dalil buktinya, dipengaruhkan dan digembirakan sampai iman itu mendarah daging, masuk di tulang sungsum dan mendalam di hati sanubari kita. Langkah kedua adalah memperluas faham agama, yaitu hendaklah faham agama yang sesungguhnya itu dibentangkan dengan arti yang seluas-luasnya, boleh diujikan dan diperbandingkan, sehingga kita anggota Muhammadiyah memahami agama Islam secara luas, tidak memahami Islam secara sempit dan kaku. Langkah ketiga, memperbuahkan budi pekerti, yaitu bahwa setiap anggota Muhammadiyah harus memahami dan menerangkannya pada yang lain, mana akhlak yang terpuji ( akhlaqul mahmudah) dan mana akhlak yang tercela ( akhlaqul mazmumah). Setiap anggota Muhammadiyah harus melaksanakan akhlak terpuji dan menjauhi akhlak yang tercela dalam kehidupan sehari-hari. Langkah keempat, menuntun amalan Intiqad. Yang dimaksud amalan intiqad adalah hendaknya kita senantiasa melakukan perbaikan diri kita sendiri (self corectie) atau senantiasa melakukan evaluasi  baik untuk amalan kita sendiri maupun evaluasi terhadap pekerjaan atau tugas tanggungjawab kita di persyarikatan. Langkah kelima, menguatkan persatuan, yaitu hendaklah senentiasa menguatkan persatuan organisasi dan mengokohkan persaudaraan (Ukhuwah), menempatkan persamaan hak dan memberikan kemerdekaan bagi pikiran-pikiran yang berkembang. Langkah keenam, menegakkan keadilan, yaitu hendaklah keadilan itu dijalankan dan ditegakkan dengan semestinya walaupun akan mengenai badan sendiri dan sanak famili kita sendiri. Ketetapan yang sudah diputuskan dengan seadil-adilnya hendaknya dibela dan dipertahankan dimanapun juga. Langkah ketujuh, melakukan kebijaksanaan. Setiap anggota Muhammadiyah, dalam segala gerak dan langkahnya tidak boleh melupakan hikmah kebijaksanaan, yaitu bisa menempatkan segala sesuatu pada tempatnya (proporsinya), memutuskan dan melakukan sesuatu dengan penuh pertimbangan, tidak tergesa-gesa, disendikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.

Sedangkan langkah kedelapan sampai dengan langkah ke dua belas adalah, menguatkan majlis Tanwir, mengadakan konperensi bagian, mempermusyawaratkan putusan, mengawaskan gerakan jalan ( memperhatikan secara tajam gerakan yang sudah dilaksanakan, sedang dilaksanakan dan yang akan dihadapi kedepan), dan mempersambungkan gerakan luar (bekerjasama dengan pihak eksternal dengan dasar silaturahmi dan tolong menolong).

Dalam kata penutup 12 tafsir langkah Muhammadiyah dinyatakan bahwa langkah ke 1 sampai dengan 7 adalah langkah ilmu yang membutuhkan keterangan dan penjelasan. Adapun langkah ke 8 sampai dengan langkah 12 adalah langkah mati, yakni tinggal dipratekkan saja atau dilaksanakan saja, karena sudah terang dan nyata. Meskipun khittah dua belas tafsir langkah Muhammadiyah sebagaimana di atas adalah kebijakan PP Muhammadiyah yang dijadikan garis perjuangan Muhammadiyah antara 1938 – 1940, namun khittah itu sampai sekarang masih sangat relevan bagi persyarikatan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.

Disamping khittah 12 tafsir langkah Muhammadiyah 1938-1940, Muhammadiyah juga melahirkan  Khittah Palembang 1956-1959. Khittah Palembang berisikan 7 hal, yaitu : (a). Menjiwai pribadi anggota dan pimpinan Muhammadiyah dengan memperdalam dan mempertebal tauhid, menyempurnakan ibadah dengan khusyu’ dan tawadlu’, mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan, dan menggerakkan Muhammadiyah dengan penuh keyakinan dan rasa tanggung jawab. (b). Melaksanakan uswatun hasanah.

(c). Mengutuhkan organisasi dan merapikan administrasi. (d). Memperbanyak dan mempertinggi mutu anak. (e). Mempertinggi mutu anggota dan membentuk kader. (f). Memperoleh ukhuwah sesama muslim dengan mengadakan badan ishlah untuk menganti­sipasi bila terjadi keretakan dan perselisihan. (g). Menuntun penghidupan anggota.

Setelah Khittah Palembang, disusul dengan Khittah Ponorogo 1969. Dalam rumusan Khittah Ponorogo tahun 1969 ini disebutkan bahwa dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar dilakukan melalui dua saluran: politik kenegaraan dan kemasyarakatan. Muhammadiyah sendiri memposisikan diri sebagai gerakan Islam amar ma’ruf nahi munkar dalam bidang kemasyarakatan. Khittah Ponorogo ditetapkan sebagai respon terhadap Kelahiran Parmusi yang merupakan partai yang dibidani oleh Muhammadiyah. Sayangnya, partai Parmusi ini gagal. Kegagalan Parmusi ini dinilai akibat Muhammadiyah tidak secara resmi menetapkan Parmusi sebagai saluran politik warga Muhammadiyah. Maka selanjutnya khittah Ponorogo kemudian “dinasakh” meminjam istilah Haedar nashir lewat khittah Ujung Pandang.

Khittah Ujung Pandang 1971 berisikan empat hal, yaitu (a). Muhammadiyah adalah Gerakan Da’wah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat. (b). Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muham­madiyah. (c) Untuk lebih memantapkan muhammadiyah sebagai gerakan da’wah Islam setelah pemilu tahun 1971, muhammadiyah melakukan amar ma’ruf nahi munkar secara konstruktif dan positif terhadap Partai Muslimin Indonesia. (d) Untuk lebih meningkatkan partisipasi muhammadiyah dalam pelaksanaan pembangunan nasional.

Implementasi Khittah Ujung Pandang ternyata membawa persoalan besar bagi Muhammadiyah. Dukungan Muhammadiyah secara kelembagaan terhadap Parmusi menimbulkan benturan yang luar biasa dalam internal persyarikatan. Selanjutnya,  dari dinamika internal yang berkembang itu sebagian besar mendorong untuk kembali ke khittah Ponorogo. Dinamika itu berujung dengan ditetapkannya Khittah Surabaya 1978 yang merupakan penyempurnaan dari Khittah Ponorogo 1969.

Khittah Surabaya 1978 berisikan dua hal, yaitu (a) Muhammadiyah adalah Gerakan Da’wah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari sesuatu partai politik atau organisasi apapun. (b). Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muham­madiyah.

Khittah Surabaya tersebut di atas kemudian ditegaskan kembali dengan khittah Denpasar 2002, dimana dalam khittah ini dinyatakan bahwa Muhammadiyah akan  tetap berada dalam kerangka gerakan dakwah dan tajdid yang menjadi fokus dan orientasi utama gerakannya, dapat mengembangkan fungsi kelompok kepentingan atau sebagai gerakan social civil-society dalam memainkan peran berbangsa dan bernegara.

Muhammadiyah on the Right Track

Khittah sebagai wujud dari dinamika pemikiran dan cara Muhammadiyah memberikan respon terhadap perkembangan sosial, budaya maupun politik,  sebagaimana tergambar dalam enam khittah yang pernah dilahirkan di atas menunjukkan posisi dan sikap Muhammadiyah dalam setiap persoalan keumatan, kemasyarakatan, maupun kebangsaan. Semua itu juga menunjukkan dimana posisi Muhammadiyah dalam konteks keislaman, yaitu bagaimana Muhammadiyah memahami Islam dan nilai-nilainya sebagai agama rahmatan lil ‘alamiin.

Dalam Islam, diajarkan bahwa setiap muslim hendaknya membangun dua tali hubungan, yaitu tali hubungan kepada Allah ( hablum minallah) dan tali hubungan dengan sesama manusia ( hablum minannas). Ketika manusia membangun secara intens tali hubungan kepada Allah, maka ia sesungguhnya sedang membentuk dirinya menjadi orang yang saleh secara individual atau sering kita sebut kesalehan individual. Selanjutnya ketika manusia membangun tali hubungan dengan sesama manusia secara baik maka itu berarti ia sedang berusaha untuk menjadi orang yang saleh secara sosial.

Kesalehan individual harus diiringi dengan kesalehan sosial. Karena itu seorang muslim tidak cukup hanya rajin shalat, berpuasa, membaca Al-qur’an, berdzikir, naik haji, dan seterusnya sementara orang-orang sekitarnya menderita karena kekurangan atau dalam posisi ketidakmampuan (mustad’afin). Jadi saleh secara inidvidual saja tidak cukup. Kita juga harus perhatian dan berbuat baik dan memberikan kemanfaatan bagi orang lain. Inilah yang dimaksud dengan kesalehan sosial.

Nilai-nilai kesalehan individual dan kesalehan sosial itu dalam gerak dan langkah Muhammadiyah dijadikan sebagai nafas dalam melangkah dan menjadi nilai dasar dalam beramal. Muhammadiyah sejak awal berdirinya menguatkan dan menggariskan pentingnya kesalehan sosial disamping kesalehan individual. Sebab itu Muhammadiyah membuat amal usaha. Muhammadiyah berusaha mengembangkan amal usahanya dalam berbagai bidang kehidupan, baik yang berkaitan dengan pendidikan, kesehatan, ekonomi, panti sosial, dan lain sebagainya. Jadi, apa yang dilakukan Muhammadiyah dulu hingga saat ini, sesungguhnya wujud dari komitmen Muhammadiyah untuk mengimplementasikan nilai-nilai Islam secara utuh (kaffah). Yaitu perwujudan dari hablumminallah dan hablumminnas.

Bila dibandingkan dengan berbagai organisasi ke-islaman  yang pernah ada, maka Muhammadiyah memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh yang lain. Keunggulan itu terletak pada komitmen Muhammadiyah yang tidak hanya ingin berhenti menjadi gerakan pemikiran, tetapi juga ingin menjadi gerakan sosial dalam bentuk gerakan pencerahan melalui pendidikan, gerakan pemberdayaan melalui ekonomi, gerakan penyantunan melalui panti asuhan dan Lazismu, dan gerakan sosial lainnya. Sementara bagi organisasi Islam yang  lain, banyak sekali organisasi yang masih sebatas sebagai gerakan pemikiran,

Sikap Muhammadiyah seperti itu adalah wujud dari syariat Islam yang memang memberikan aturan-aturan dan batas-batas tentang cara beragama yang utuh dan kaffah. Pada posisi ini maka Muhammadiyah sebagai gerakan Islam telah berada dalam posisi yang benar (on the right track)  dalam mengimplementasikan nilai-nilai utuh ajaran Islam yang diintegrasikan dalam gerak dan langkah persyarikatan. Bidang garapan sosial Muhammadiyah yang dikerucutkan pada empat garapan utama, yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan pelayanan sosial adalah bidang garapan yang mewakili aspek dasar keunggulan kehidupan sosial manusia. Dengan kata lain, jika kita ingin melihat keunggulan kehidupan manusia secara sosial maka standar ukurannya adalah pendidikan (kemampuan akademik), kesehatan, dan ekonomi (kesejahteraan). Jika kesalehan individual ditambah dengan kesalehan sosial, maka keunggulan manusia terletak pada tiga hal yaitu spiritualitas, intelektualitas dan moralitas.

Penulis: Mukhtar Hadi (Wakil Ketua PDM Kota Metro/Anggota BPH UM Metro)