Fungsi Kitab dan Furqan sebagai Petunjuk  

Profetik UM Metro – Allah SWT berfirman : Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan kepada Musa Kitab dan Furqan, agar kamu memperoleh petunjuk (al Baqarah ayat 53).

Al Qur’an selalu mengajak manusia untuk berfikir dengan baik dan benar, menghindarkan dari berlogika yang salah (logical fallacy). Karena al Qur’an selalu menghadirkan ruang berfikir, ruang merenung dan memberikan kesimpulan kebenaran dari itu semua. Itulah diferensiasi manusia dengan makhluk lain, karena kemampuanya membangun pemikiran dan perenungan untuk menghasilkan kesimpulan kebenaran, sehingga akan melahirkan aksi yang tepat dalam melanjutkan kehidupanya.

Dalam surat al Baqarah ayat 53 Allah swt membangun nalar renung kembali manusia, ketika menggunakan kalimat “Ingatlah” artinya Allah swt mengajak manusia mengingat-ingat sesuatu yang telah terjadi, karena hal ini menjadi dasar untuk menyimpulkan sesuatu yang akan berefek pada masa depan. Manusia yang logikanya sehat, nalar berfikirnya baik dan tingkat rasa jiwa (soul)nya hidup maka akan mampu melakukan proses “pengingatan” ini. Kelemahan Bani Israil adalah mengingat-ingat apa yang sudah Allah SWT karuniakan kepada mereka, baik nikmat yang berupa materi maupun kenikmatan yang berupa kecerdasan dan keselamatan, sehingga mereka menjadi manusia yang kurang bersyukur.

Kemampuan merenung menjadi kopetensi yang penting (tadabbur) dalam diri hamba, karena merenung adalah kemampuan membangun relasi logika (rasio) dengan hati (soul) serta kitab suci (teks). Denganya elaborasi itu, maka perenungan akan menghasilkan sebuah produk fikir yang benar, serta kesimpulan yang baik.

Objek ingat dalam ayat di atas adalah karunia Allah SWT ketika menurunkan kepada Musa al Kitab dan al Furqan. Apa yang dimaksud dengan al Kitab dan furqan tersebut?

Banyak mufassir menafsiri dua konsep tersebut, Imam Jalaludin as Suyuti dalam Kitab Jalain memahami bahwa al-Kitab adalah Taurat, sedangkan al-Furqan adalah kata penjelas daripada al Kitab, sebagai pemisah antara hak dan bathil, serta membedakan halal dan haram untuk menunjukan manusia kepada jalan kebenaran.

Imam al Baidhawi dalam kitan Anwaru Tanzil wa asraru ta’wil memahami bahwa al kitab dan al furqan adalah Taurat itu sendiri, karena taurat adalah sesuatu yang menghimpun kitab suci serta menjadi hujjah untuk membedakan yang hak dan yang bathil.

Hakikatnya apapun tafsirnya akan merujuk kepada makna esensi dan fungsi, al kitab sebagai esensi ajaran, sedangkan al furqan sebagai fungsi ajaran tersebut, sebagai pembeda kebenaran dan keburukan. Kemampuan memahami esensi yang melahirkan fungsi inilah perenungan, yang kemudian menghadirkan sebuah kesimpulan petunjuk kebenaran (tahtadun/hidayah).

Seorang pembaca yang baik, seorang ilmuwan yang baik, seorang perenung yang baik bahkan pemikir yang baik adalah mereka yang mampu mengambil segala value kebenaran dalam teks maupun konteks, sehingga value tersebut memiliki fungsi dalam membangun segala sesuatu yang bermanfaat, menjadi jalan dan arah untuk menentukan mana yang benar dan salah, mana yang hak dan yang batil bahkan mana yang halal dan haram.

Kopetensi seperti inilah yang akan mengarahkan manusia menuju kebenaran serta mendapatkah hidayah kitab suci. Karena inti kitab suci adalah petunjuk kebenaranya, Bukan hanya menjadi sebuah doktrin dan bacaan tanpa makna bahkan tak berfungsi. Kelemahan umat manusia saat ini adalah pada wilayah ini, kemampuan mengambil esensi dan fungsi sehingga sebanyak apapun mereka membaca kitab suci, maka tidak memberikan efek ilmiah dan amaliah dalam diri mereka, sehingga peradaban tidak terbangun.

Sebagai orang beriman yang mengimani al Qur’an, al Qur’an sebagai kitab suci penyempurna syari’at sebelumnya, hendaknya menjadikan metode perenungan seperti di atas, karena al-Qur’an memiliki esensi dan fungsi yang sangat universal. Al-Qur’an akan menjadi peta jalan dalam membangun peradaban manusia yang mulia, akan tetapi hal ini tergantung dengan kemampuan umat menghadirkan hidayah dari al Qur’an melalui nalar dan metode berfikir yang benar.

Insan profetis sebagai ujung tombak dalam membangun peradaban, hendaknya mengfokuskan diri dalam berijtihad memahami esensi dan fungsi al Qur’an, sehingga al Qur’an akan mampu menjadi jalan membangun peradaban. Al Qur’an akan menjadi peta jalan bagi para scientis baik sosial maupun eksak dalam membangun Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi yang menghadirkan kemaslahatan totalitas serta menjadi IPTEK yang menghadirkan makrifatullah.

Al Qur’an akan menjadi peta jalan dalam membangun suatu bangsa, peta jalan politik yang berkeadilan, ekonomi yang mensejahterakan dan hukum yang penuh dengan kesetaraan dan keadilan. Semua manusia yang menjadikan al-Qur’an akan menemukan suara Tuhan di dalam bidang dan aspek yang mereka geluti. Sehingga cahaya ilahi selalu menerangi kehidupan manusia.

Diperlukan sebuah gerakan merenungi nalar berfikir al-Qur’an ini, untuk mereset fikiran manusia yang sudah dipenuhi nalar berfikir materialis yang membahayakan peradaban, karena materialisme hanya menjadi fatamorgana peradaban bukan peradaban yang hakiki.

Seri Bahagia dengan Al-Qur’an
Penulis : Dr. M. Samson Fajar, M.Sos.I. (Dosen FAI UM Metro)