Defisit Pendidikan Nasional

Laman Opini UM Metro – Kebodohan di masa depan bukanlah orang yang tidak bisa membaca, tetapi mereka yang gagal mendidik dirinya, yang tidak mampu belajar bagaimana cara belajar (Herbert Gerjouy).

Seorang Calon Legislatif (Caleg) yang juga seorang akademisi bercerita tentang kegagalannya memahami kultur budaya di masyarakat. Katanya: “Saya coba berkampanye menggunakan asas manfaat berkelanjutan dan bermakna bagi kehidupan orang banyak, dengan optimis.”

Maka di beberapa desa sebagai basis vote getter-nya dibangunlah sumur umum, jalan tembus baru, jalur pertanian, mushola, dll. Dia yakin betul jualan kampanyenya yang lebih “ILMIAH” tersebut akan laku keras dan dapat suara banyak. Namun, ternyata hasilnya sangat mengecewakan bagi dia. Alih-alih dapat suara mayoritas di desa-desa tersebut, dia gagal dan hanya mendapatkan sekitar 10% saja.

Ternyata (sambil menghela nafas panjang) masyarakat kita lebih menyukai model kampanye amplop (cash and carry) yang menurutnya tidak ilmiah.  Sebagai seorang intelektual dia tidak ingin meninggalkan sesuatu tanpa hikmah meskipun kenyataan itu sangat pahit.

Lalu, dia selidiki dari manakah suara yang 10% tersebut? Dia mendapatkan fakta cukup mengejutkan bahwa yang 10% dari masyarakat yang memilihnya adalah para panitia, bahkan panitia inti pemegang proyek politiknya tersebut.

Setelah itu, dia mendapatkan pembelajaran yang diharapkannya: ternyata distribusi keuntungan dari pengerjaan proyeknya tidak mengalir sampai jauh. Pembelajaran  lain, tentu dia menjadi manusia yang lebih luas wawasannya tentang dunia luar, di luar kampusnya.

Hikmah yang lebih dalam: bahwa para panitia inti tadi orang-orang yang secara pendidikan lebih tinggi dibandingkan masyarakat di desanya. Kalau begitu di manakah Lembaga Pendidikan tempatnya bersekolah mengintervensi karakter dan kultur mereka? Tentu saja pertanyaan tersebut mewakili pertanyaan banyak orang, termasuk kita.

Harus diakui pendidikan di sekolah kita terkooptasi kondisi eksternal yang berlangsung di masyarakat, baik dalam aspek sosial, budaya dan politik. Kita harus berani bertanya: “Apa dan bagaimana kontruksi kultural yang telah dilakukan dalam proses pendidikan di sekolah dan berhasil membentuk anak didik kita menjadi manusia yang well-educated. Mengapa seringkali kalah oleh faktor eksternal?

Sebagai bukti, apakah kita bisa membedakan perilaku orang yang berpendidikan formal dengan yang tidak ketika di masyarakat? Coba kita perhatikan: Siapa yang paling banyak melanggar peraturan lalu lintas?  Siapa yang paling banyak membuang sampah sembarangan? Siapa yang berdemonstrasi dengan cara merobohkan pohon dan merusak pot tanaman padahal isu yang diusung demonstran tidak ada relevansinya sama sekali dengan keberadaannya? Atau siapa yang paling banyak melakukan korupsi?

Jawabannya,  justru orang yang berpendidikan menengah dan tinggi. Jadi, dimana artikulasi budaya pendidikan pada diri orang berpendidikan jika memang ada? Perilaku yang kita saksikan dari orang-orang berpendidikan di negeri ini hanyalah ekspresi dari sifat dasar mereka masing-masing yang dibawa dari rumah, bukan karena intervensi pendidikan yang diperolehnya.

Kita  pun menjadi sadar,  masyarakat kita bukan saja teridentifikasi sebagai Homo Socius yang punya misi Homo Sacra Res homin, tapi telah melampaui Homo Economicus menjadi Homo Agresivus yang berwajah Homo Homini Lupus. Ada semacam sifat “the beast within humanity”.

Allah S.W.T. menyuruh kita: “Tidaklah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik: akarnya kokoh dan cabangnya (menjulang) ke langit (QS Ibrahim: 24).

Memaknai ayat tesebut, proses pendidikan di Indonesia seharusnya memang harus mementingkan membangun akar atau pondasi siswa menjadi kokoh terlebih dahulu. Memiliki  akar yang kokoh menjamin batang dan cabang yang tumbuh menjulang ke langit akan aman.

Sebaliknya, ketika akar tidak kokoh maka tumbuhan itu akan membahayakan lingkungan dan mahluk hidup di seklitarnya. Tidak perlu topan tornado, ketika akar tidak kokoh maka terpaan angin sedikit aja cukup menumbangkanya, menghancurkan bangunan serta mencelakai orang lain.

Tanpa bermaksud mengabaikan kompleksitas dalam pengembangan  pendidikan, maka keberpihakan dan kepedulian para penyelenggara pendidikan akan pentingnya menanamkan budaya pendidikan kepada anak didiknya menduduki posisi sentral dalam upaya mengembangkan perilaku individu sebagai manusia terdidik (well-educated).

Kejujuran para penyelenggara pendidikan, adalah kata kunci keberhasilan upaya tersebut. Persoalannya,  bersediakah para penyelenggara pendidikan untuk jujur, bahwa apa pun yang akan dilakukan semata-mata untuk pendidikan dan bukan atas nama pendidikan?

Penulis : Dr. Achyani, M.Si. (Dosen S2 Pendidikan Biologi PPs UM Metro)

Artikel ini ditulis dalam rangka menyambut Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada 02 Mei 2020.

Tinggalkan Balasan