Bahagia dengan Al-Qur’an: Opurtunis vs Integritas dalam Peradaban

Profetik UM Metro – Allahu SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 9: “Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri, sedangkan mereka tidak sadar”.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. mengatakan, “Yukhadi unallaha wal lazina amanu” mereka hendak menipu Allah dan orang-orang beriman karena mereka hanya menampakkan keimanannya pada lahiriahnya saja, sedangkan batin mereka memendam kekufuran. Karena kebodohan mereka sendiri, mereka menduga bahwa diri mereka menipu Allah Subhanahu wa Ta’ala. dengan sikap tersebut, dan hal tersebut menghasilkan manfaat di sisi-Nya, dapat mengelabui Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana mereka dapat mengecoh sebagian kalangan kaum mukmin, seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya: (Ingatlah) hari (ketika) mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu mereka bersumpah kepada-Nya (bahwa mereka bukan orang musyrik) sebagaimana mereka bersumpah kepada kalian; dan mereka menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan memperoleh suatu (manfaat). Ketahuilah, bahwa sesungguhnya merekalah orang-orang pendusta (Al-Mujadilah: 18).

Demikianlah karakter orang-orang opurtunis (munafik) yang selalu menampakkan sisi luar yang memukau masyarakat dengan retorikanya, akan tetapi ada api yang merusak dalam dadanya. Api kepentingan dan syahwat untuk mendapatkan keuntungan lebih, bahkan ada yang ingin menghancurkan.

Sejarah agama telah membuktikan bahwa terjadinya banyak penyimpangan dan perpecahan dalam tubuh umat beragama adalah karena perilaku kemunafikan (opurtunis).

Mereka adalah orang-orang yang vokal dan mampu mempengaruhi fikiran umat, akan tetapi mereka memiliki dendam sekaligus memancing ikan di dalam air keruh.

Kasus Abdullah bin Ubay di Madinah, dan Abdullah bin saba’ berhasil membuat perseteruan sehingga melahirkan kelompok Syi’ah, bahkan hal ini juga masuk pada agama lain, sehingga terjadi penyimpangan.

Perilaku ini sangat berbahaya karena penyakit hati yang teramat kronis, betapa banyak para penguasa yang berkampanye akan membangunkan suatu negeri, tetapi realitasnya merekalah penghancur negeri. Mereka mengambil keuntungan sebesar-besarnya dengan memanfaatkan jabatan yang dipangkunya.

Bahkan betapa banyak ilmuwan yang menjadikan ilmunya untuk mendukung kekuatan kekuasaan, walau dengan dalih ilmiah tetapi hanya untuk mendapatkan keuntungan duniawi.

Bulleer dan Burgoon dalam teori penipuan interpersonal mengungkapkan bahwa penipuan itu dominan ada kepentingan pribadi, sehingga daya kognitif yang dibutuhkan untuk mempengaruhi manusia agar tidak terlihat menipu lebih besar. Inilah yang mengindikasikan orang yang berbicara melebihi kapasitasnya dan terlalu banyak berjanji bahkan bersumpah adalah sebuah kebohongan.

Insan profetis yang fokus akan karakter kenabian hendaknya meminimalisir sifat ini, bahkan harus dihilangkan pada seluruh ruang lingkup hidupnya.

Insan profetis hendaknya mengoptimalkan sifat siddiq (jujur, integritas) sebagai sifat utama Rasulullah SAW, yang tidak pernah berbohong kepada siapapun.

Tentu hal ini tidak mungkin sebagai manusia untuk seperti nabi, akan tetapi melakukan internalisasi nilai Siddiq seoptimal mungkin adalah keharusan. Sehingga hidupnya bukan retoris dan simbolis saja, akan tetapi hidup yang benar-benar dzahir dan batin, simbol dan esensi.

Insan profetis dalam semua profesinya harus menghadirkan sifat Siddiq. Sebagai seorang pejabat hendaknya membuat kebijakan yang jujur, tidak menjadikan kebijakanya dalam rangka memuluskan kepentingannya. Sebagai ilmuwan hendaknya dia Siddiq, jujur dalam membangun toeri, jujur dalam membangun informasi pengetahuan, bukan untuk melegalkan kepentingan dirinya ataupun orang lain. Tetapi ilmunya untuk benar-benar kepentingan umat dan lingkungan.

Peradaban utama akan hadir jika dipenuhi oleh insan profetis yang jauh dari opurtunitas dan kental dengan kejujuran dan ketulusan dalam setiap bidangnya.

Penulis: Dr. M. Samson Fajar, M.Sos.I. (Dosen FAI UM Metro)