Sekedar Pertanian “Ekonomi dan Politik”

Laman Opini UM Metro – Setiap ke sawah tengah hari, selalu terpikir kerja keras dan kerja ikhlas para petani. Seperti foto yang saya ambil siang hari ini. Jangan lupa, mereka juga kerja cerdas pada bidangnya.

Tapi seolah semua itu tidak terhargai dan ternilai secara wajar dalam tatanan kehidupan yang sewajarnya sekalipun. Terlebih bila dibandingkan tatanan kehidupan orang kantoran yang selalu bekerja di ruang AC, yang kadang hadir tidak penuh, tapi bayaran tetap penuh. Jauh sekali dengan yang dialami petani.

Jika panas atau hujan bukan halangan bagi para petani untuk terus bekerja. Lalu, halangan besar mereka apa? Halangan besar bagi mereka adalah sistem ekonomi yang tidak adil. Mereka dikondisikan oleh suatu kekuatan, hanya sebagai konsumen, hanya sebagai pembeli semua produk orang kaya yang hidup di kota.

Bahkan ketika produk sayuran, padi, singkong, atau sejenisnya yang dihasilkan petani pun tidak layak secara ekonomi, itu tidak penting bagi para produsen pupuk sintetis, pestisida, benih, dan alat pertanian lannya (saprodi). Yang penting jualan saprodi para orang kaya, terus dan terus dibeli para petani.

Jadi, saat ini Petani tidak diposisikan sebagai bagian dari sistem ketahanan pangan, tapi sekedar sekrup dari sistem ekonomi. Orientasinya bahwa pertanian bukan penghasil pangan, melainkan hanya komoditi ekonomi. Petani seakan tercebur dalam kubangan tersebut.

Meminjam istilah Dahlan Iskan, bahwa dalam Kementrian Perdagangan selama ini sering terjadi yang diperdagangkan bukan perdagangan komoditi, tapi “dagang politik”. Politik cari fee dari komoditi impor dan ekspor, sedangkan komoditinya sendiri tidak penting mau berdaya guna atau tidak.

Apakah hal tersebut juga terjadi pada sektor pertanian? Sepertinya iya juga. Misalnya, petani mau menanam apa, berhasil panen atau tidak, itu tidak penting. Yang terpenting perdaganngan saprodi, seperti pupuk, benih, obat-obatan yang menguntungkan produsen tetap laris manis.

Lalu, ketika suatu daerah dapat menghasilkan produk pertanian yang cukup, pejabat di daerah itu dengan bangga menulis: “SELAMAT DATANG DI PROVINSI/KABUPATEN SWASEMBADA PANGAN”.

Sungguh terasa MANIS tulisan tersebut bagi orang-orang tertentu. Sebaliknya, sungguh terasa MIRIS untuk pelakunya yang panas dan hujan terus berjuang demi sekedar dapat makan hari ini, karena hasil panenan tidak cukup ditabung untuk esok hari.

Terlanjur diijon untuk dapat talangan pupuk dan pestisida ketika masa menanam dulu. Padahal mereka para sokoguru bangsa, tapi kini nasibnya berubah menjadi “sokowongkuto”.

Penulis : Dr. Achyani, M.Si. (Dosen PPs UM Metro)