Ruang Demokrasi di “Tempat Ketiga”

Penulis: Dr. Mukhtar Hadi, M.Si. (Ketua BPH UM Metro dan Dosen IAIN Metro)

Opini UM Metro – Masyarakat kita punya tradisi berkumpul dan paguyuban sejak lama. Tempat-tempat bekumpul yang bersifat informal sudah sejak lama menjadi bagian dari tradisi dan budaya masyarakat. Dahulu orang-orang tua kita bekumpul dengan tentangga untuk sekedar ngobrol dan ngopi dengan camilan singkong rebus atau gorengan. Semuanya berjalan begitu cair, guyub, rukun dan penuh gelak tawa. Dari situasi itulah masyarakat membangun kohesi sosial, membangun interaksi sosial dan memperkuat rasa saling percaya dan saling terikat.

Perkembangan berikutnya ruang pertemuan yang dimulai dari rumah ke rumah lewat budaya nonggo (silaturahmi ke tetangga) mulai merambah pada ruang lain yang lebih luas seperti kedai kopi, di Sumatra ada Lapo Tuak, pos ronda, surau dan musholla, dan sebagainya. Pada zaman sekarang ini tempat-tempat pertemuan itu informal itu berkembang lebih modern melalui tempat-tempat seperti coffee shop, cafe, bar atau tempat tongkrongan lainnya. Beberapa abad yang lalu di masyarakat Eropa, tempat-tempat berkumpulnya warga ini juga sudah ada dengan bentuk dan pola yang hampir sama yaitu berupa kedai-kedai kopi, ditemani dengan koran sebagai sumber diskusi dan pembicaraan.

Sudah sejak lama, para sosiolog mencari nama untuk tempat pertemuan informal warga seperti itu. Barulah nama itu ditemukan oleh seorang Sosiolog berkebangsaan Amerika bernama Ray Oldenburg dalam bukunya The Great Good Place (1989). Ray Oldernburgh memberi nama bagi tempat pertemuan warga itu dengan sebutan The Third Place atau “tempat ketiga”. Ia mengindentifikasi ‘tempat ketiga” sebagai tempat umum, di tempat netral dimana orang dapat berkumpul dan berinteraksi secara bebas.

Ray Oldernburg adalah seorang sosiolog perkotaan yang menulis tentang pentingnya tempat berkumpul bagi masyarakat secara informal. Baginya tempat-tempat seperti bar, kedai kopi, toko umum adalah tempat yang penting bagi kehidupan komunitas dan publik karena merupakan pusat demokrasi lokal dan vitalitas komunitas.

Berbeda dengan rumah (tempat pertama) dan kantor atau tempat kerja (tempat kedua), tempat ketiga merupakan salah satu lingkungan fisik yang sepanjang sejarah mendorong rasa hangat, ramah tamah, dan jenis rezeki khusus manusia yang disebut dengan komunitas. Tempat orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat berkumpul dalam suasana informal. Berbeda dengan tempat pertama dan kedua, tempat ketiga memiliki karakteristik yang informal, terbuka, tidak memiliki struktur yang ketat karena itu sangat egaliter, setara, ramah dan sederhana. Anda bisi ngobrol apa saja dengan santai, terbuka, penuh dengan gelak tawa dan canda dengan secangkir kopi atau teh, kudapan dan gorengan, termasuk dengan iringan live music campur sari atau dangdut.

Dahulu kedai kopi sudah ada di Timur Tengah dan pada masa kejayaannya terjadi di Eropa tepatnya di Inggris sudah sangat lama, lama sekali yaitu pada abad ke-17. Kopi dianggap berbahaya ketika pertama kali diperkenalkan di Eropa karena kedai kopi menjadi lokasi utama perdebatan politik. Karena sebab itu Raja Cahrles II pernah mencoba memberantas kedai kopi pada tahun 1675 yang justru berakibat timbulnya protes dari masyarakat. Sebagai tempat kebebasan berpendapat yang memungkinkan adanya kesetaraan pada tingkat tertentu, kedai kopi dapat dilihat sebagai cikal bakal demokrasi. Suasana kedai kopi yang demokratis, harga yang sama-sama demokratis, suasana yang menyenangkan membuat tempat ketiga ini menjadi begitu penting bagi kebebasan berpendapat dan sekaligus perekat kohesi sosial.

Sayangnya, tempat ketiga itu sekarang ini mendapat tantangan yang cukup berat. Bukan oleh kekuasaan, tetapi oleh perubahan gaya hidup manusia itu sendiri akibat dari perkembangan teknologi. Perkembangan yang serba digitalisasi membuat tempat ketiga mengalami penggerusan secara alami. Jika orang membutuhkan kopi tidak perlu merasa harus ke pinggir jalan atau pojok-pojok warung kopi untuk mendapat dan menikmatinya, cukup dengan pesan secara online dan kopi itu datang dengan sendirinya. Toko-toko dan pasar tempat pertemuan-pertemuan masyarakat mulai terasa sepi karena orang berubah dari belanja secara tatap muka yang humanis menjadi belanja daring yang bersifat statis. Pos-pos ronda yang dulu menjadi tempat pertemuan warga telah diganti dengan tenaga keamanan berbayar atau menyerahkannya kepada sistem pengamanan berbasis teknolgi CCTV.

Pada sisi yang lainnya, tempat-tempat pertemuan informal lain yang berbasis keagamaan seperti surau, langgar atau musholla ataupun masjid mulai ditinggalkan. Kemana mereka pergi dan berkumpul? Yaitu pada ruang-ruang maya game oline dan interaksi lewat sosial media yang sangat individual dan di lingkungan fisik yang sangat privat ditemani bantal dan guling. Pertemuan dan rapat-rapat dirasa efektif hanya dengan cukup melaui zoom meeting atau aplikasi meeting lainnya. Semuanya menjadi serba digital dan online. Tidak lagi membutuhkan pertemuan secara badan jasmani dan lingkungan fisik yang alami.

Tentu saja akibat perubahan itu ada harga yang harus dibayar mahal oleh kita, yaitu memudarnya rasa kebersamaan, keakraban, ramah tamah dan hilangnya keceriaan serta kegembiraan diantara warga masyarakat. Rumah sebagai tempat pertama yang mulai kehilangan arah, kantor dan perusahaan sebagai tempat kedua yang sangat birokratis, kaku dan struktural ditambah tempat ketiga yang meredup dan menghilang adalah malapetaka bagi kemanusiaan.

Sebab itu, saatnya untuk menghidupkan kembali tempat ketiga untuk berdiskusi, berdebat, persahabatan dan tawa. Kita perlu bertemu dengan teman-teman dan tetangga-tetangga kita dan berada di sekitar orang-orang yang tidak kita kenal. Tempat ketiga adalah pusat pencarian akan cara hidup yang lebih baik dan bisa jadi tempat menemukan rasa kemanusiaan. Wallahu a’lam bishawab (mh.31.10.23).