Reaktualisasi Spirit Kebangkitan Nasional (Jangan Transfer Abunya, Tapi Apinya)
- 20 Mei 2020
- Posted by: Humas UM Metro
- Categories: Laman Opini, Uncategorized @id

Laman Opini UM Metro – Kebangkitan Nasional adalah periode pada paruh pertama Abad XX. Saat itu bertumbuh kesadaran nasional sebagai orang Indonesia, setelah Selama ratusan tahun bangsa Indonesia dalam penguasaan penjajah dalam segala aspek kehidupan, sehingga Indonesia layaknya sebuah rumah besar yang kehilangan tuan rumah dan semua keadaan itu adalah by design kaum penjajah. Tujuanya jelas, yaitu agar bisa menguasai daerah jajahan secara totalitas dan selama mungkin. Pada tahun 1908 terbit kesadaran bahwa bangsa Indonesia itu ada dan berhak memiliki sebuah negara yang ditandai dengan salah satu peristiwa penting yaitu berdirinya Boedi Oetomo. Sebuah perkumpulan kaum muda terdidik dan tercerahkan serta berhasil menggaungkan kesadaran kebangkitan secara nasional, sadar negara Indonesia sangat beragam dan terpencar dalam ribuan gugusan pulau-pulau sehingga agar lebih efektif dalam memperjuangkan kemerdekaan diperlukan kesatuan dan persatuan gerakan.
Saat ini, perjuangan bangsa Indonesia tentu saja bukan untuk melepaskan diri dari kekuasaan negara penjajah seperti dr. Soetomo dan kawan-kawan kala itu, tapi bukan berarti perjuangan bangsa Indonesia telah selasai. Indonesia memang sudah merdeka dilihat dari aspek kedaulatan geopolitik, tetapi merdeka secara geopolitik saja tidak cukup. Indonesia perlu merdeka secara ekonomi, agar tidak bergantung terus-menerus kepada negara lain, dengan cara berhutang, dalam mencukupi gerak pembangunannya. Sudah menjadi wacana umum bahwa negara donatur seringkali memberikan syarat-syarat yang mengekang dan menjebak Indonesia dalam posisi yang tidak menguntungkan dalam memberikan bantuannya. Tujuannya jelas agar Indonesia takhluk dan terjinakkan secara politik. Jadi, apa artinya ini semua? Sebuah bentuk penjajahan baru bernama ecoimperialisme. Hal yang sama terjadi pada ranah keragaman hayati (biodeversity). Pemodal asing telah menguasai lahan-lahan perkebunan dengan menggusur hutan dan segala keragaman hayatinya secara masif. Dalam konteks ini telah terjadi bioimperialisme di Indonesia.
Lalu apa yang harus kita lakukan? Bangkit. Terbukti tidak semua orang Indonesia punya kesadaran untuk bangkit walau sudah dijajah beratus tahun. Sebuah kesadaran yang cukup mahal. Sekarang kita boleh kuatir juga, jangan-jangan kita juga tidak sadar atau setidaknya terlambat bangkit terhadap hal-hal yang mengkooptasi, bahkan menjajah kita tapi mungkin dalam bentuk lain.
Bangkita sebuah keharusan, sebutlah sebagai Kebangkitan Nasional kedua, ketiga, dan seterusnya. Kapanpun harus ada kesadaran bangsa Indonesia untuk bangkit sebagai upaya melepaskan diri dari ketertinggalan bangsa lain dan escape to high order (Menggapai posisi lebih tinggi) dalam segala aspek kehidupan yang vital. Kita harus berani melakukan instropeksi akan kelemahan dan kekurangan kita seraya mencari solusi yang tepat dan elegan. Bangsa Indonesai harus denga sungguh-sungguh melihat ke dalam diri secara jujur dan teliti, lalu dengan jitu menerepong kehidupan masa depan dengan segala tantangannya. Berikut ini penulis paparkan beberapa gagasan yang perlu menjadi perhatian untuk instropeksi sekaligus sebagai bekal untuk menggapai kebangkitan kehidupan bangsa Indonesia di masa depan sebagai penganta diskusfi dan belum komprehensif.
1. Memperkecil Entropi dan Meningkatkan Efisiensi
Secara singkat dapat diungkapkan Entropi adalah energi yang harus dikeluarkan yang disebabkan ketidakaturan (kerusakan) suatu sistem. Mobil baru dan atau yang terawat dengan baik masih memiliki keteraturan sistem mesin dan gerak sehingga lebih hemat energi, sebaliknya mobil lama dan atau tidak terawat dengan baik akan lebih boros energi. Analog dengan hal tersebut terjadi pada aspek sosial dan budaya dalam kehidupan. Pada lembaga atau perusahaan, bahkan negara terjadi pula fenomena entropi mirip di mobil tadi. Jumlah energi (output) yang dihasilkan oleh lembaga, perusahaan, atau negara seharusnya setara dengan energi (input) yang dimasukan. Contoh mudahnya jika sebuah instansi diberi wewenang membuat jalan dengan anggaran tertentu, maka harusnya terbangun jalan yang kokoh dan tidak mudah berlubang serta berfungsi dengan baik selama satu tahun anggaran. Jika tidak demikian maka nilai entropi menjadi besar.
Kecenderungan kinerja bangsa Indonesia sekarang ini adalah nilai entropi besar dan tidak efisien. Input tinggi tapi out rendah. Hai ini dapat terjadi karena sistem yang rusak dan tidak terawat dengan baik. Saya sering berseloroh kepada mahasiswa: jika tadi Anda sudah makan bergizi, menu tanggal muda mahasiswa (rendang, sate, ditambah susu) tapi tidak menghasilkan satu makalah pun, maka Anda rugi. Entropi Anda terlalu besar. Input makanan bergizi tadi hanya habis untuk chat yang tidak penting atau kebanyakan tidur. Anda bukan manusia yang efisien. Dan, itu yang disebut entropi budaya. Itu semua pemicu hihg cost economy.
Mengapa hal tersebut banyak terjadi pada manusia Indonesia? Salah satu sebabnya banyak orang Indonesia mengalami disorientasi kehidupan. Tujuan hidupnya bukan “ untuk apa” tapi “dapat apa”. Tipologi manusia seperti itu jika diberi kepercayaan membangun jalan, misalnya, ia tidak pernah terpikir: “saya akan bikin jalan ini sebaik mungkin untuk menyenangkan orang yang lewat di jalan ini, agar kendaraanya tidak cepat rusak, dan tidak membahayakan yang lewat”. Bukan semata-mata: “ saya dapat apa dari proyek jalan ini”. Jarang sepertinya orang Indonesia sekarang ini yang memiliki orientasi seperti itu, buktinya jalan cepat rusak dan menyengsarakan banyak orang yang melewatinya. Jadi, jika ingin bangsa ini cepat bangkit dari ketertinggalan, maka perkecil entropi dan pertinggi efisiensi dalam berkinerja, serta perbaiki tujuan dan orientasi hidup.
2. Quality Focus
Tekun, telaten, konsisten menjadi titik lemah bangsa Indonesia dalam mengeluti suatu bidang pekerjaan. Jauh hari Nabi SAW, menyampaikan: “Amal perbuatan yang baik adalah amal yang dkerjakan secara terus menerus walaupun itu kecil”. Fenomena yang sering kita lihat pada bangsa ini adalah hangat-hangat tahi ayam atau serakah, ingin mengerjakan semuanya agar dapat honorarium banyak padahal kemampuan terbatas. Akibanya, hasil pekerjaan berkualitas rendah.
Tercermin juga dari kurikulum sekolah, yang ingn memasukan sebanyak mungkin pengetahuan pada siswa sehingga materi pada kurikulum sekolah di Indonesia sangat padat. Filosofi yang dianut: “Tahu sedikit tentang hal yang banyak, dan bukan “Tahu banyak tentang hal yang sedikit”. Bisa ditebak hasilnya, karena kurang fokus begitu suatu semester lewat, maka lewat pula semua teori dalam kepala siswa. Singkat kata, bangsa Indonesia masih perlu meningkatkan quality focus pada berbagai bidang jika ingin menghasilkan sesuatu yang berkualitas dan bisa bangkit bersaing dengan bangsa lain.
3. Desain Intervensi Karakter dari Sekolah
Perilaku yang kita saksikan dari orang-orang berpendidikan di negeri ini hanyalah ekspresi dari sifat dasar mereka masing-masing yang dibawa dari rumah, bukan karena intervensi pendidikan yang diperolehnya. Kita harus berani bertanya: “Apa dan bagaimana kontruksi kultural yang telah dilakukan dalam proses pendidikan di sekolah dan berhasil membentuk anak didik kita menjadi manusia yang well educated. Mengapa seringkali kalah oleh faktor eksternal? Sebagai bukti, apakah kita bisa membedakan perilaku orang yang berpendidikan formal dengan yang tidak ketika di masyarakat? Coba kita perhatikan: Siapa yang paling banyak melanggar peraturan lalu lintas? Siapa yang paling banyak membuang sampah sembarangan? Siapa yang berdemonstrasi dengan cara merobohkan pohon dan merusak pot tanaman padahal isu yang diusung demonstran tidak ada relevansinya sama sekali dengan keberadaannya? Atau siapa yang paling banyak melakukan korupsi? Jawabannya, justru orang yang berpendidikan menengah dan tinggi. Jadi, dimana artikulasi budaya pendidikan pada diri orang berpendidikan jika memang ada?
Kita pun menjadi sadar, masyarakat kita bukan saja teridentifikasi sebagai Homo Socius yang punya misi Homo Sacra Res homin, tapi telah melampaui Homo Economicus menjadi Homo Agresivus yang berwajah Homo Homini Lupus. Ada semacam sifat “the beast within humanity”. Maka, dari sekolah perlu ada intervensi kuat untuk membangun jiwa-jiwa altruis dan tidak egois, empati, jujur, dan memanusiakan yang lain.
4. Skills Dasar yang diperlukan di Abab 21
Keterampilan abad ke-21 atau diistilahkan dengan 4C (Communication, Collaboration, Critical Thinking and Problem Solving, dan Creativity and Innovation) merupakan kemampuan sesungguhnya ingin dituju dengan Kurikulum 2013.Berikut penjelasan 4C.
a. Communication (komunikasi)
Komunikasi adalah sebuah kegiatan mentransfer sebuah informasi baik secara lisan maupun tulisan. Namun, tidak semua orang mampu melakukan komunikasi dengan baik. Terkadang ada orang yang mampu menyampaikan semua informasi secara lisan tetapi tidak secara tulisan ataupun sebaliknya. Lebih dari itu, agar komunikasi dapat masif dan efisien manusia Indonesia di Abad 21 selayaknya terampil menggunakan pelbagai teknologi digital dan alat komunikasi.
b. Collaborative (kolaborasi)
Adalah kemampuan berkolaborasi atau bekerja sama, saling bersinergi, beradaptasi dalam berbagai peran dan tanggungjawab; bekerja secara produktif dengan yang lain; menempatkan empati pada tempatnya; menghormati perspektif berbeda.
c. Critical thinkingand Problem Solving (berpikir kritis dan pemecahan masalah).
Adalah kemampuan untuk memahami sebuah masalah yang rumit, mengkoneksikan informasi satu dengan informasi lain, sehingga akhirnya muncul berbagai perspektif, dan menemukan solusi dari suatu permasalahan. Critical thinking dimaknai juga kemampuan menalar, memahami dan membuat pilihan yang rumit; memahami interkoneksi antara sistem, menyusun, mengungkapkan, menganalisis, dan menyelesaikan masalah.
d. Creativity and Innovation(Kreativitas dan inovasi)
Adalah kemampuan untuk mengembangkan, melaksanakan, dan menyampaikan gagasan-gagasan baru kepada yang lain; bersikap terbuka dan responsif terhadap perspektif baru dan berbeda.
Kreativitas juga didefinisikan sebagai kemampuan seseorang dalam menciptakan penggabungan baru. Kreativitas akan sangat tergantung kepada pemikiran kreatif seseorang, yakni proses akal budi seseorang dalam menciptakan gagasan baru. Kreativitas yang bisa menghasilkan penemuan-penemuan baru (dan biasanya bernilai secara ekonomis) sering disebut sebagai inovasi.
e. Adaptif dan Inovatif
Menghadapi kehidupan yang seringkali unpredictable seperti pandemi Covid-19, kemampuan beradaptasi dan inovasi bangsa kita menjadi kata kunci agar tetap bisa survive. Saya ambil contoh adaptasi dalam kehidupan bernegara dan secara individu seperti berikut:
Dalam sistem bernegara, khususnya di bidang pertahanan, orientasi banyak negara mungkin akan berubah secara drastis dari yang selama ini lebih mementingkan pertananan dengan kecanggihan sistem persenjataan militer, akan bergeser kepada pentingnya pertahanan (imunitas) tubuh manusia. Terbukti senjata nuklir yang begitu canggih sekalipun seperti yang dimiliki Amerika Serikat dan China tidak berdaya melindungi penduduknya menghadapi serangan Coronavirus, mahkluk hidup yang justru sangat kecil.
Secara individu akan ada kesadaran dan kepedulia lebih dari orang Indonesia dalam hal pemilihan makanan di masa New Normal. Ada kecenderungan orang akan mementingkan nilai gizi dan kesehatan (higienitas) dari makanan yang dipilih daripada sekedar mengenyangkan perut. Orang akan sadar pentingnya makanan yang berkualitas (halal dan thoyyiban) untuk meningkatkan kekebalan tubuh sebagai upaya strategis menghadapi inveksi Covid-19 (Herd Immunity). Dalm konteks ini, bahan makanan organik yang ramah lingkungan dan non pestisida tentu menjadi menjadi pilihan tepat: sehat dan berkelanjutan. Semoga.
Penulis : Dr. Achyani, M.Si. (Dosen S2 Pendidikan Biologi PPs UM Metro)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.