Laman Opini UM Metro – Tuntutan mahasiswa di berbagai penjuru tanah air Indonesia baik Perguruan Tinggi Negeri maupun Perguruan Tinggi Swasta menyeruak dipenghujung pelaksanaan New Normal di perguruan tinggi untuk melaksanakan perkuliahan dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.
Gejolak itu juga terjadi, secara pelan tapi pasti, gerakan terstruktur mahasiswa untuk menuntut pembebasan biaya UKT melalui wadah organisasi mahasiswa. Tuntutan pembebasan UKT juga terjadi khususnya di daerah kabupaten dan kota di Provinsi Lampung.
Mahasiswa yang orang tua terkena dampak akibat bencana non alam Virus Corona Covid-19 yang berlangsung kurang sejak tiga sampai empat bulan lalu menjadi dilema, karena mengancam banyak mahasiswa tidak dapat membayar UKT pada semester ini menjelang pelaksanaan Ujian Akhir Semester (UAS).
Dalam konteks masalah ini, penulis melihat dari aspek optical psychology of law dalam proses kajian hukum, untuk mencari dan menemukan pola dan konstruksi penyelesaian yang lebih humanis, bermartabat, adil, tegas dan tetap pada rambu dan subtansi hukum positif yang mengaturnya dengan dibantu sistem regulasi internal di PTN mau pun PTS sebagai pedoman dan pelaksanaan dan otoritas pelaksana otonomi perguruan tinggi yang melekat pada lembaga tersebut.
Mahasiswa belajar melalui sarana daring yang sudah ditentukan dari lembaga pendidikan masing-masing. Dari beberapa hal tersebut di atas, khususnya perguruan tinggi, dibanjiri tuntutan dari gabungan organisasi mahasiswa agar pihak kampus mengulurkan kebijakan pembebasan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT), atau bahkan meminta diskon 50% uang UKT, karena alasan orang tua mahasiswa banyak yang terkena dampak akibat Virus Covid-19, sehingga aktifitas dan pendapatan eknomi menurun karena tidak dapat melaksanakan aktitas ekonomi diluar rumah.
Karena, kondisi sosial mahasiswa melalui organisasi mahasiswa di kampus masing-masing melakukan audiensi atau mengirimkan surat resmi kepada para rektor, agar mengeluarkan kebijakan untuk membebaskan biaya UKT atau minimal diskon 50%, agar mahasiswa dapat meneruskan kuliah seperti biaya pada saat New Normal.
Dari respon para para pimpinan perguruan tinggi di Indonesia, khususnya melalui pengamatan virtual dan melalui berita media massa, sebagian besar para rektor merasa sangat prihatin dan berempati, serta membuka diri dalam membantu menanggulangi masalah-masalah yang dihadapi oleh para mahasiswa dan keluarganya, yang secara langsung terdampak sumber perekonomiannya, sehingga sulit memenuhi kewajiban Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Kebijakan perubahan UKT diatur dalam Pasal (6) Permen Dikti No. 39/2017, tentang perubahan UKT. Untuk itu, kebijakan berupa; pembebasan sementara, pengurangan, pergeseran klaster, pembayaran mengangsur, dan penundaan pembayaran UKT agar dilaksanakan melalui permohonan perubahan dengan menyertakan data pokok tentang perubahan kemampuan ekonomi mahasiswa. Untuk mengatur pemenuhan hak mahasiswa perlu dipahami pula bahwa, dampak Pandemi Covid-19, tidak hanya kepada mahasiswa saja, tetapi juga kepada sivitas akademika lainnya termasuk dosen dan tenaga kependidikan.
Kuota dan uang kuliah jadi kendala mahasiswa di tengah wabah Covid-19 Pandemi Covid-19 ini juga berdampak kepada pengelolaan perguruan tinggi secara umum. Terkait kebijakan penyesuaian UKT diserahkan sepenuhnya kepada pimpinan perguruan tinggi. Sumber hukum lain adalah UU No 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 83 Ayat (1) dan Ayat (2) sumber dana pembiayaan perguruan tinggi alokasi pendidikan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan hak otonom pengelolaan.
Pasal 64 Ayat (1) dan (2) huruf, a,b,c,d dan e mengenai otonomi pengelolaan perguruan tinggi bidang akademik dan non akademik terkait meliputi hak otonomi terkait operasional serta pelaksanaan organisasi, kemahasiswaan, keuangan, ketenagaan, sarana prasarana. Pasal 62 Ayat (1,2 dan 3) , mengenai aturan perguruang tinggi yang memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembagannya sebagai pusat penyelangaraan Tridarma dan pengalolaan otonomi perguruan tinggi berdasarkan kemampuannya. Pasal 76 Ayat (2 ), “ pemenuhan hak mahasiswa sebagimana disebut Ayat 1, dilakukan dengan cara memberikan 1) beasiswa mahasiswa berprestasi, 2) bantuan atau membebaskan biaya pendidikan dan atau pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan atau memperoleh pekerjaan.
Berdasarkan formulasi ketentuan pidana UU No 12 Tahun 2012 Tentang Perguruang Tinggi diatur ketentuan pidana bagi yang melakukan pelanggaran pidana. Pasal 93 Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang melanggar Pasal 28 ayat (6) atau ayat (7),Pasal 42 ayat (4), Pasal 43 ayat (3), Pasal 44 ayat (4), Pasal 60 ayat (2), dan Pasal 90 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Tidak ada satupun pasal yang yang menyatakan pemberian sanksi kepada pimpinan atau Rektor PTS maupun PTN yang menolak pemberian pembebasan UKT secara penuh kepada mahasiswa. Sehingga, pimpinan PTN dan PTS boleh secara otonom melalui hak yang melekat pada jabatan mewakili lembaganya untuk menolak tuntutan pembebasan UKT tersebut berdasarkan pertimbangan hukum khusus yang mengaturnya.
Sementara mengenai sanksi administrasi kepada PTS dan PTN yang melanggar sebagaimana disebut di dalam Pasal Pasal 92 (1) Perguruan Tinggi yang melanggar ketentuan Pasal 8 ayat (3), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (3), Pasal 20 ayat (3), Pasal 21 ayat (4), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23ayat (3), Pasal 24 ayat (4), Pasal 25 ayat (4), Pasal 28ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), atau ayat (7), Pasal33 ayat (6), Pasal 35 ayat (3), Pasal 37 ayat (1), Pasal41 ayat (1), Pasal 46 ayat (2), Pasal 60 ayat (5), Pasal73 ayat (3) atau ayat (5), Pasal 74 ayat (1), Pasal 76 ayat (1), Pasal 78 ayat (2), atau Pasal 90 ayat (5) dikenai sanksi administratif.(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a) peringatan tertulis; b) penghentian sementara bantuan biaya Pendidikan dari Pemerintah; c) penghentian sementara kegiatan penyelenggaraan Pendidikan; d) penghentian pembinaan; dan/atau e) pencabutan izin.
Dari berbagai sanksi administrasi yang telah diatur, juga tidak terdapat aturan bagi PTS maupun PTN yang mendapatkan sanksi, jika melanggar tidak memberikan pembebasan UKT sepenuhnya kepada mahasiswa.
Yang diatur yang berhubungan dengan mahasiswa adalah hanya pada Pasal 76 (1) “Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik.
Artinya, PTN dan PTS tidak perlu khawatir dari sisi hukumnya tidak ada ruang bagi mahasiswa untuk memaksakan kehendaknya tanpa pertimbangan yuridis. Namun, demikian, karena tidak diatur dalam sanksi hukum bukan berarti PTN dan PTS dilarang untuk mengeluarkan diskresi untuk membantu mahasiswa, hal itu boleh saja karena PTN dan PTS memiliki hak otonom dalam melakukan pengelolaan keuangan lembaganya dan dapat memperhitungkan kemampuan fianansial apakah mampu membebaskan biaya UKT seluruh mahasiswa.
Kebijakan perubahan UKT diatur dalam Pasal (6) Permen Dikti No. 39/2017, tentang perubahan UKT. Untuk itu, kebijakan berupa; pembebasan sementara, pengurangan, pergeseran klaster, pembayaran mengangsur, dan penundaan pembayaran UKT agar dilaksanakan melalui permohonan perubahan dengan menyertakan data pokok tentang perubahan kemampuan ekonomi mahasiswa.
Oleh sebeb itu, sebagai konsep untuk memformulasikan persoalan pembebasan UKT maupun diskon 50 persen tuntutan mahasiswa, sepenuhnya otoritas keputusan berada di pimpinan PTN dan PTS diseluruh Indonesia.
Selanjutnya penulis memberikan formulasi dan solusi untuk meredam geliat aksi para mahasiswa dengan cara pemberian insentif pula untuk baiaya perkualiahan daring dan memberikan bantuan keringanan pembayaran UKT dengan sistem cicilan tidak dibayar penuh namun dengan cacatan perjanjian pelunasan setelah kondisi dan suasana Indonesia dalam keadaan normal seperti semula, maka mahasiswa berkewajiban melunasi sisa pembayaran UKT tersebut.
Penulis : Dr. Edi Ribut Harwanto, S.H., M.H. (Kepala Lab. Hukum, Fakultas Hukum UM Metro)