Pelayanan yang Profetik

Oleh : Dr. Mukhtar Hadi, M.Si. (Ketua BPH UM Metro)

Siapapun yang diberikan amanah menjadi abdi negara, abdi umat dan masyarakat sudah seharusnya merasa mendapatkan kehormatan dan kebahagiaan karena amanah itu merupakan posisi yang mulia. Tidak semua orang mendapatkan posisi dan kedudukan itu. Namun demikian kemuliaan itu bisa saja menjadi malapetaka dan bencana tidak saja bagi dirinya tetapi juga bagi orang lain, jika amanah itu tidak ditunaikan dengan penuh tanggungjawab. Betapa banyak contoh: jabatan, posisi dan kedudukan yang tidak membawa kepada kehormatan bagi Sang Empunya, namun justru sebaliknya membawa kepada bencana dan kenistaan.

Bagi setiap muslim, penting untuk memahami bahwa segala sesuatu yang dilakukan dari seluruh aktivitas kehidupan ini sesungguhnya bernilai ibadah. Ibadah tidak hanya yang berhubungan dengan shalat, puasa, berzakat, membaca Al-Qur’an, berdzikir, dan lain sebagainya. Semua aktivitas muamalat duniawiyah adalah ibadah. Termasuk di dalamnya menjalankan tugas dan tanggungjawab mengurusi umat dan masyarakat. Syaratnya, jika semua aktivitas muamalat duniawiyah itu diniatkan untuk beribadah dan semata-mata mengharapkan ridha Allah SWT.

Dengan meniatkan seluruh tugas dan tanggungjawab kita sebagai abdi negara dan abdi umat semata-mata karena Allah SWT, maka aktivitas kita itu akan bernilai ibadah. Dus, dengan demikian kita telah berusaha menaikkan amanah itu dari yang hanya bernilai duniawiyah menjadi bersifat ukhrawiyah, dari yang profan menjadi transendental, serta memiliki nilai profetik spiritual.

Islam mengajarkan beberapa prinsip dalam memberikan pelayanan. Sebelum para ahli manajemen menemukan konsep pelayanan prima (service excellence) dalam birokrasi pemerintahan maupun swasta, Islam sudah mengajarkan tentang hal itu. Ajaran untuk selalu memberikan yang terbaik kepada siapapun apalagi bagi mereka yang meminta bantuan merupakan prinsip dasar Islam dalam menunaikan amanah dan tanggungjawab. (Provigil online) Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 267, sebagai berikut:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ اَخْرَجْنَا لَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ ۗ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ وَلَسْتُمْ بِاٰخِذِيْهِ اِلَّآ اَنْ تُغْمِضُوْا فِيْهِ ۗ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Mahakaya, Maha Terpuji.” (QS.Al-Baqarah: 267).

Ayat di atas menjelaskan bahwa, seorang muslim diperintahkan untuk menafkahkan sebagian harta yang diusahakan dan dimiliki untuk membantu orang lain, namun dengan satu syarat berikanlah bantuan dari milik kita yang terbaik atau yang masih baik. Bukan membantu dari barang yang kita sendiri sudah tidak berkenan, sampai-sampai digambarkan kita saja memicingkan mata terhadap barang itu karena sangking buruknya.  Dalam perspektif lain, ayat di atas juga dapat dipahami bahwa membantu dan memberikan yang terbaik kepada orang lain adalah nilai utama yang harus selalu diutamakan oleh seorang muslim.

Perspektif membantu dan memberikan pelayanan yang baik itu seperti halnya diri kita sendiri yang selalu naluriah menginginkan hal-hal yang mudah dan baik saja. Begitu juga orang lain, mereka secara naluriah juga ingin mendapatkan bantuan yang memudahkan, yang baik dan menyenangkan. Karena itu, orang-orang yang memberikan pelayanan kepada masyarakat harus sering melihat kepada diri sendiri sebelum atau ketika memberikan pelayanan kepada orang lain. Kalau kita suka dan senang dihargai dan diperlakukan dengan baik, maka begitu halnya orang lain. Kalau kita senang dibantu atas kesukaran kita, begitu halnya pula orang lain, mereka akan sangat senang jika kesulitan-kesulitanya dibantu dan terselesaikan.

Abu Musa Al-Asy’ary menuturkan bahwasanya ketika  Rasulullah mengutus salah seorang sahabat untuk untuk menyelesaikan suatu urusan yang berkaitan dengan orang lain, Beliau berpesan kepadanya: “Sampaikanlah kabar gembira dan janganlah menakut-nakuti, serta permudahlah dan janganlah mempersulit” (HR.Muslim). Begitulah ajaran dan pesan Rasulullah kepada siapapun yang diberika amanah untuk memberikan pelayanan kepada orang lain. Setiap birokrat dan pengampu amanah sudah seharusnya mengimplementasikan pesan ini. Yaitu berusaha untuk menggembirakan yang dilayani, tidak boleh membuat orang takut dan khawatir, senantiasa memberikan kemudahan dan bukan mempersulitnya.

Adagium ‘Kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah’ dalam praktek birokrasi harus diubah dengan paradigma ‘Kalau bisa dipermudah mengapa harus dipersulit’. Paradigma pelayanan dalam Islam sebagai pesan Rasulullah itu adalah:  Gembirakan, Mudahkan dan Jangan dipersulit.

Beberapa hadits Nabi memberikan penegasan akan jaminan bagi siapapun yang mempermudah urusan orang lain, maka akan dipermudah pula segala urusannya. Dalam sebuah Hadits Rasulullah berdoa: “ Ya Allah, barangsiapa yang diberi tanggungjawab untuk menangani urusan umatku, lalu ia mempersulit mereka, maka persulitlah hidupnya. Dan barang siapa yang diberi tanggungjawab untuk mengurusi umatku, lalu ia memudahkan urusan mereka, maka mudahkanlah hidupnya” (HR.Muslim).

Bukan hanya akan dipermudah dalam urusan duniawi, Allah memberikan jaminan bahwa bagi mereka yang mempermudah urusan orang lain, memberikan pelayanan yang baik kepada orang yang membutuhkan bantuan, maka Allah akan mempermudah urusannya nanti di akhirat. Disabdakan oleh Rasulullah SAW: “Barangsiapa yang melepaskan kesusahan duniawi seorang muslim, Allah akan melepaskan kesusahannya pada haria kiamat. Barangsiapa memudahkan seorang yang mendapatkan kesusahan, Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan di akhirat” (HR. Muslim).

Demikianlah nilai-nilai profetik yang diajarkan Islam sebagai pedoman dalam seseorang mengemban amanah dan tanggungjawab yang diberikan kepada mereka. Amanah dalam posisi apa pun. Sebagai pimpinan, pejabat, staf, karyawan atau pegawai, semua harus bekerja dan memberikan pelayanan yang terbaik. Melihat jabatan bukan hanya sekedar urusan duniawiyah semata tetapi juga memahami dan menginternalisasikannya dalam hati sebagai tanggungjawab yang bernilai spiritual dan transendental.