Profetik UM Metro – Allah SWT berfirman: “Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahan kalian, agar kalian bersyukur” (Al Baqarah ayat 52).
Kata maaf sering menjadi korban akan kemustahilan, karena sering orang mengatakan tidak mungkin mampu memaafkan.
Al Qur’an mengajarkan kata maaf begitu indah, dalam ayat ini:
ثُمَّ عَفَوْنَا عَنْكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahan kalian, agar kalian bersyukur.
Nalar Qur’ani mengarahkan logika manusia untuk memberikan maaf secara totalitas, dengan tujuan manusia mampu bersyukur dan berterima kasih.
Dalam konteks teologis, Bani Israil dimaafkan oleh Allah SWT karena terlalu banyak dosa dan keingkaran yang mereka lakukan kepada Nabi Musa maupun kepada Allah SWT. Tetapi Allah SWT memaafkan mereka kembali agar mereka mau bersyukur. Allah SWT menutup semua kesalahan mereka secara totalitas, agar mereka merasa bersyukur, karena tidak di azab oleh Allah SWT.
Nalar ini memang sulit dilakukan, karena membutuhkan lawan bicara yang memiliki hati dan rasa, serta logika yang cerdas untuk memahami maksud dari permaafan tersebut.
Tapi demikianlah agama ini mengajarkan untuk memaafkan manusia tanpa mengingat dan melihat masa lalunya. Jika sudah memaafkan maka sudah lupakan, apakah dia akan menjadi baik atau tidak bukan urusan kita.
Akan tetapi kata maaf dalam ayat ini adalah wilayah pribadi, bukan pada wilayah hukum publik. Karena dalam Al Qur’an ada nalar permaafan publik tersendiri. Ketika memang kesalahan itu bersifat sosial maka yang memaafkan adalah institusi sosial melalui hukum dan perundang-undangan, maka dalam Islam ada istilah hukum had, qishas dan hukum-hukum terkait. Misal korupsi para pejabat, maka permaafannya adalah pengadilan yang berlaku, apakah dimaafkan melalui hukum pencurian atau hukum perampokan, atau bahkan hukum perusakan negara. Semuanya dalam Islam ada aturannya, Bahkan dalam ruang hukum positif pasti juga ada pembahasannya.
Surat Al Baqarah ayat 52 hakikatnya permaafan ilahiah, ketika Allah SWT memaafkan Bani Israil, akan tetapi menjadi jalan nalar kita, ketika pribadi kita tersakiti oleh siapapun, maka maaf adalah jalan terbaik untuk menenangkan diri dan menyelesaikan masalah.
Sehingga dalam Al Qur’an Allah SWT mengatakan bahwa ciri orang bertakwa adalah yang selalu memberi maaf bagi kesalahan manusia.
Tentunya tidak ada yang bisa melakukan itu kecuali orang-orang yang berjiwa besar, orang-orang yang mempunyai kekuatan iman dan taqwa, orang-orang yang pengharapan atas keridhaan Allah, yang betul-betul mengharapkan ampunan Allah dengan kuat. Rasulullah SAW bersabda,
“Barangsiapa memaafkan saat dia mampu membalas maka Allah memberinya maaf pada hari kesulitan. (HR Ath- Thabrani)” Sabda Rasulullah SAW,
Jika hari kiamat tiba terdengarlah suara panggilan “Manakah orang-orang yang suka mengampuni dosa sesama manusianya?” Datanglah kamu kepada Tuhan-mu dan terimalah pahala-pahalamu. Dan menjadi hak setiap muslim jika ia memaafkan kesalahan orang lain untuk masuk surga. (HR Adh-Dhahak dari Ibnu Abbas r.a.)
Mansur bin Muhammad Al-Kuraizi berkata: “Aku akan paksakan sifat pemaaf pada diriku kepada orang-orang yang berbuat keburukan kepadaku walaupun keburukan mereka banyak kepadaku. Karena manusia itu tidak lebih dari tiga; orang yang mulia, orang yang tidak mulia, orang yang seimbang dengan kita. Adapun orang yang lebih mulia dariku maka aku mau mengakui keutamaan dia dan aku mengikuti kebenaran padanya. Karena kebenaran harus diikuti. Kalau ternyata orang itu lebih rendah kemuliaannya dariku dan ternyata ia berbuat buruk kepadaku maka aku sudah melindungi diriku dengan cara aku tidak menjawab dia. Kalau ternyata dia seimbang denganku lalu terpeleset didalam kesalahan, maka aku sudah berbuat kebaikan. Karena sifat halim merupakan sifat yang lebih bagi orang yang bijak.”
Nalar Qur’ani memang mengajak manusia untuk selalu memaafkan orang lain, bukan memendam masalah bahkan dendam.
Memaafkan orang lain akan melahirkan rasa balas jasa, karena hakikatnya memaafkan menghasilkan rasa terimakasih bagi yang melakukan kesalahan. Oleh sebab itu maka mereka akan menjadikannya berterima kasih.
Insan profetis adalah mereka yang selalu menghadirkan rasa memaafkan dalam diri mereka, dia seperti samudera yang tak akan ada najis dan kotoran yang mempengaruhi kesucian airnya, karena memang Samudera sangat luas dan dalam. Mereka mudah memaafkan dan selalu berfikir positif akan orang lain, sehingga yang ada dalam dirinya adalah kebahagiaan.
Seri Bahagia dengan Al-Qur’an
Penulis : Dr. M. Samson Fajar, M.Sos.I. (Dosen FAI UM Metro)