Menimbang Ulang Validitas Nilai Raport dan Tes Akademik dalam PPDB Lampung 2025
- 20 Juni 2025
- Posted by: Humas UM Metro
- Category: Uncategorized @id

Dr. Satrio Budi Wibowo, S.Psi., MA
Ketua LPPM UM Metro
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) selalu menjadi sorotan publik. Tahun ini, PPDB di Lampung menyisakan polemik serius: perbedaan mencolok antara hasil penilaian berdasarkan nilai raport dan tes akademik. Banyak orang tua dan siswa bertanya-tanya, bagaimana mungkin siswa yang selama tiga tahun berturut-turut menduduki peringkat atas di kelas justru gagal bersaing dalam seleksi berbasis tes akademik? Apakah berarti nilai raport tidak valid? Ataukah sebaliknya, justru tes akademik yang belum sepenuhnya teruji validitasnya?
Fenomena ini menyentil keadilan dalam sistem pendidikan kita. Dalam dunia pendidikan, nilai raport adalah hasil kerja keras siswa dalam jangka panjang. Ia bukan hanya representasi hasil ujian semata, tetapi juga mencerminkan aspek kepribadian, keterampilan sosial, kerja kelompok, sikap, dan keaktifan siswa dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler. Sebagai bentuk penilaian formatif dan sumatif yang berlangsung secara berkesinambungan, nilai raport memiliki indikator yang lebih komprehensif. Tentu saja, orang yang biasa berkecimpung di dalam dunia pendidikan memahami, bedanya penilaian Formatif dan Sumatif. Nilai raport, dalam konsteks ini menyimpan informasi yang lebih holistik dibandingkan tes akademik yang hanya mengukur sebagian kecil kemampuan kognitif dalam waktu yang singkat. Lebih mirip dengan penilaian sumatif.
Bagi mereka yang pernah belajar psikometri, tentu memahami bahwa pengukuran terhadap konstruk non-fisik seperti kemampuan berpikir kritis, prestasi belajar, atau tes potensi akademik siswa tidak bisa direduksi dalam satuan ukur tunggal. Tidak seperti pengukuran panjang dengan meter atau berat dengan kilogram, pengukuran atribut non fisik tidak memiliki satuan baku universal. Oleh karena itu, sangat berisiko jika tes akademik dijadikan satu-satunya acuan untuk menilai bahwa nilai raport siswa tidak valid. Apalagi, hingga kini, belum tersedia laporan resmi yang menjelaskan tingkat validitas dan reliabilitas dari tes akademik yang digunakan dalam PPDB. Ini menjadi celah besar yang patut dipertanyakan. Sebenarnya tes tidak sah digunakan untuk pengambilan keputusan penting tanpa terlebih dahulu diuji validitas konten, konstruk, dan kriteriannya, serta konsistensi hasilnya melalui reliabilitas statistik (AERA, APA, & NCME, 2014).
Lebih jauh, upaya mengubah petunjuk teknis (juknis) PPDB di tengah proses berlangsung bukan hanya tidak mungkin secara teknis, tapi juga secara etis. Perubahan mendadak semacam ini akan memunculkan kecurigaan baru di tengah masyarakat. Bisa saja publik menilai bahwa perubahan aturan dilakukan untuk meloloskan peserta tertentu, dan ini berisiko merusak integritas seluruh sistem PPDB. Maka, meskipun muncul perbedaan hasil antara dua sistem penilaian, keputusan yang diambil tetap harus berdasarkan juknis yang telah ditetapkan sejak awal.
Namun demikian, persoalan ini tak bisa dibiarkan berlalu begitu saja. Harus ada langkah serius untuk mencegah konflik serupa terjadi di masa mendatang. Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan adalah melalui metode equating, yakni suatu proses psikometrik untuk menyamakan skala penilaian dari dua atau lebih bentuk tes yang berbeda, agar dapat dibandingkan secara adil. Konsep ini memungkinkan sistem untuk menyetarakan nilai raport antar sekolah berdasarkan tolok ukur yang sama. Salah satu skemanya adalah dengan menetapkan 5 sampai 10 siswa terbaik dari tiap sekolah untuk mengikuti tes akademik. Hasil dari kelompok ini dijadikan pembobot untuk menyamakan skala nilai raport di sekolah asal. Proses ini melibatkan teknik statistik seperti equipercentile equating atau model item response theory (IRT), yang telah banyak digunakan dalam sistem seleksi masuk perguruan tinggi di berbagai negara maju (Kolen & Brennan, 2004).
Tentu saja, pendekatan ini tidak bisa serta-merta diterapkan tahun ini. Bukan hanya karena keterbatasan waktu, tetapi juga karena etika pelaksanaan PPDB yang tidak boleh diubah saat proses sedang berjalan. Namun demikian, kebijakan ini bisa mulai dipersiapkan untuk PPDB tahun depan. Dinas Pendidikan dapat menggandeng para ahli psikometri dan evaluasi pendidikan dari perguruan tinggi untuk merancang sistem yang lebih adil dan terstandarisasi. Mereka dapat membantu merancang instrumen tes akademik yang benar-benar valid dan reliabel, sekaligus merancang model equating yang sesuai dengan konteks pendidikan di tiap daerah.
Menjadikan nilai raport sebagai bagian integral dari sistem seleksi tetap perlu dipertahankan, namun harus pula diimbangi dengan penguatan sistem penjaminan mutu dan keadilan penilaian antar sekolah. Ketika setiap sekolah memiliki standar penilaian yang berbeda, maka perlu ada mekanisme untuk menyamakan persepsi dan kriteria. Jika tidak, sistem seleksi berbasis raport akan selalu menimbulkan prasangka bahwa nilai bisa dimanipulasi demi kelulusan.
Situasi PPDB di Lampung tahun ini adalah cermin penting bagi pendidikan nasional. Di satu sisi, kita melihat usaha untuk mengedepankan seleksi yang objektif dan terstandar. Namun di sisi lain, kita juga menyadari bahwa tanpa pendekatan ilmiah yang kokoh dalam mengukur kualitas siswa, hasil seleksi bisa saja tidak adil. Maka, saatnya kebijakan pendidikan bersandar pada prinsip-prinsip ilmiah, terutama dalam bidang psikometri. Bukankah tujuan utama pendidikan adalah untuk menjamin kesempatan yang adil bagi semua anak bangsa, terlepas dari di mana mereka belajar?