Oleh: Dr. Edi Ribut Harwanto, S.H., M.H. (Kepala Laboratorium Hukum UM Metro).
LamanOpini – Undang-Undang Hak Cipta No 28 tahun 2014 Tentang Hak Cipta di Indonesia sudah disahkan sejak tahun 2014, dan mulai berlaku dan dapat di implementasikan atau di oprasionalkan keberlakuanya setelah dua tahun kemudian di Tahun 2016.
Masalah pokok yang terjadi terhadap UUHC di Indonesia, adalah masalah yuridis dalam perumusan ketentuan kebijakan formulasi ketentuan pidananya. Masalah yang kini muncul terhadap keberlakukan UUHC adalah, terkait masalah ketidak jelasan masalah kualifikasi delik, penentuan subjek hukum korporasi tidak diatur, sanksi pidana korporasi tidak diatur, perumusanan mengenai sanksi ganti rugi pidana yang tidak jelas, mengenai perumusan antara kejahatan atau pelanggaran terhadap perbuatan pidana dalam UUHC.
Masalah-masalah yuridis dalam UUHC di Indonesia ini, akan berdampak pada pelaksanaan dan pengoprasionalan UUHC saat ini dan yang akan datang. Masalah yuridis dalam kebijakan formulasi ketentuan pidana dalam UUHC yang baru telah penulis bahas di bab sebelumnya. Untuk bab ini, akan membahas tentang perbandingan komprasi kebijakan formulasi ketentuan pidana terhadap badan hukum korporasi di Indonesia dengan di komparasikan dengan UUHC di negara-negara lain.
Berikut akan dijelaskan pengaturan Hak Cipta di Indonesia, Malaysia, Singgapura, Malaysia, Hongkong dan Thailand. Dilihat dari ketentuan pidana UUHC di negara Malaysia, Singapura, Thailand dan Hongkong, regulasi ketentuan pidana yang mengatur mengenai sanksi pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh badan hukum atau korporasi diatur secara tegas baik dari sisi hukum materil dan formilnya.
Hal itu, membuktikan bahwa, pelanggaran hak cipta di mata negara-negara luar diangap penting dan krusial, sehingga perlu diatur dalam kebijakan formulasi ketentuan pidana di negara tersebut.
Berbeda dengan UUHC di Indonesia, hanya mengatur subjek hukum perseorangan, sementara badan hukum korporasi hanya disebut dalam devinisi yuridis dalam ketentuan umum UUHC saja, namun pengaturan dalam kebijakan formulasi ketentuan pidana tidak diatur secara jelas dan terang.
Padahal sudah jelas bahwa sanksi pertangungjawaban pidana antara perseorangan dengan sanksi pidana badan hukum korporasi berbeda dalam penjatuhan sanksinya. Satjipto Raharjo menyatakan, korporasi adalah sustu badan hasil ciptaan hukum. Badan yang diciptakanya itu terdiri dari “corpus” yaitu, truktur fisiknya dan kedalamnya hukum memasukan “animus” yang membuat badan itu mempunyai kepribadian.
Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum maka kecuali penciptaanya, kematianyapun juga ditentukan oleh hukum. Untuk mengidentifikasi bagimana bentuk-bentuk badan hukum yang dinamakan korporasi secara umum penulis merujuk pendapat I.S. Susanto.
Dalam pertangung jawaban pidana dalam UUHC di Indonesia tidak diatur secara khusus dalam perumusan kebijakan formulasi ketentuan pidana. Oleh karena itu, hal itu menjadikan UUHC dipandang lemah dari sisi penagakkan hukum pidana bagi para pelaku pertunjukan di Indonesia. N.E. Algra menjelaskan dalam hal pertangung jawaban pidana “toerekenbaarheid” menyatakan, “toerekenbaarheid” diartikan dapat dipertangungjawabakan atas suatu perbuatan yang dapat dihukum atau dapat dipertangungjawabkan kepada pelakunya atas perbuatanya sendiri, apabila kesalahan (cq kesengajaan) dari pelakunya terbukti (unsur unsur/elemen) dan tidak terdapat alasan penghapusan hukuman”.
Sudarto, menyatakan dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi, meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenerkan (an obyective breach of a penal provition), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjektive quilt).
Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertangungjawabkan atas perbuatan atau jika dilihat dari sudut perbuatanya, perbuatanya baru dapat dipertangungjawabkan kepada orang tersebut. Selaian itu, pandangan Moeljatno mengatakan, “bahwa ajaran kontorowict, antara perbuatan pidana dan pertangungjawaban dalam hukum pidana, ada hubungan erat seperti halanya dengan perbuatan dan orang yang melakukan perbuatan.
Perbuatan pidana baru mempunyai arti kalau disampingnya adalah pertangungjawaban, sebaliknya tidak mungkin ada pertangungjawaban, jika tidak ada perbuatan pidana. Kesalahan adalah unsur, bahkan syarat mutlak bagi adanya pertangungjawaban berupa pengenaan pidana. Sebab juga bagi masyarakat Indonesia berlaku azas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan: geen straf zonder schuld, keine strafe ohne schuld, atau dalam bahasa lain : actus non facit reum nisi mens sit rea, (an act daes not make person quilty unless his mind is quilty).
Adapun bukti bahwa asas ini berlaku ialah, andaikata sekalipun dia tidak mempunyai kesalahan, niscaya hal itu dirasakan sebagai hal yang tidak adil dan tidak semestinya. Permasalahan mendasar dalam bahasan pertangungjawaban pidana korporasi adalah menyangkut kontruksi yuridis perbuatan pengurus korporasi dapat dianyatakan sebagai perbuatan korporasi dan menyangkut kontruksi yuridis pelaku koprporasi sebagai pembuat dan sifat pertangungjawaban pidana korporasi.
Untuk menjamin pelaksanaan kebijakan formulasi, aplikasi dan eksekusi hukum pidana dalam Undang Undang Hak Cipta No 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta guna memenuhi rasa keadilan bagi para pelaku pertunjukan (musisi-penyanyi-producer-pencipta lagu) di Indonesia dan menindak pelaku tindak pidana pembajakan di Indonesia, agar pemerintah segera mereformulasi peraturan guna menekan tindak pidana pembajakan hak cipta bidang musik dan lagu di Indonesia.
Untuk mengantisipasi karena terjadinya kekesongan hukum di dalam Undang Undang Hak Cipta, terkait masalah yuridis di dalam ketentuan pidana dan pasal-pasal laianya berdampak pada kerugian secara ekonomi bagi pelaku pertunjukan dapat mengunakan Undang-Undang yang relefan yang dapat dipergunakan sebagai alat mencegahan dan penindakan terhadap pelaku tindak pidana pembajakan hak cipta musik dan lagu dapat mengunakan Undang Undang.
Tindak pidana Korupsi pada sisi tidak dibayarkanya pendapatan negara bukan pajak berpotensi merugikan keuangan negara dan mengunakan Undang Undang Perpajakan atas tindakan tidak membayar pajak akibat tindakan tindakah pidana hak cipta bagi korporasi melakukan pelanggaran.
Kedepan regulasi ketentuan pidana terhadap korporasi harus diatur secara terpisah tidak boleh digabungkan dalam rumusan orang sebagai subjek hukum, namun frase penyebutan pelaku tindak pidana korporasi sanksi dan jenis hukumnya tambahan harus ditegaskan dalam ketentuan pidana.
Hal itu seperti di tegaskan dalam UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan Pasal 126, “ tindak pidana dapat dilakukan oleh orang perorangan atau oleh korporasi. Pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dijatuhkan kepada a: badan hukum antara lain, perseroan, perkumpulan, yayasan, atau korporasi; dan atau b : pemberi perintah untuk melakukan tindakan pidana atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan tindakan pidana.
Artinya, dalam undang undang hak cipta semestinya diatur dalam ketentuan pidana terhadap tambahan terhadap pemberikan sanksi pidana terhadap badan hukum atau korporasi, karena sanksi pidana tambahan terhadap korporasi secara langsung misalnya penghentian operasional, pencabutan izin dll. Sehingga, subjek hukum perseorangan dan korporasi sama-sama mendapat sanksi atas tindak pidana pelangaran hak cipta dan dibedakan antara sanksi pidana perseorangan dan sanksi pidana bagi korporasi.
Kedepan, diharapkan dalam rangka mereformulasi aplikasi, dan eksekusi hukum pidana Undang Undang Hak Cipta agar menjadi lebih berkeadilan di masa depan, dan menindak tegas pelaku tindak pidana pembajakan baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun oleh korporasi, maka pemerintah dapat kerjasama yang baik sebagai teamwork bersama organisasi profesi terkait seperti PAPPRI, ASIRI, WAMI, REI ASIRINDO dan organisasi profesi seni lainnya yang terkait, bekerja sama dengan penegak hukum polri, jaksa, hakim, DJKI, dalam mensingkronkan masalah-masalah yuridis tersebut untuk disusun menjadi lebih baik guna memberikan perlindungan hukum para pelaku pertunjukan di Indonesia yang berkeadilan.
Kordinasi dengan Pemerintah melalui presiden dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk melakukan revisi atau menata ulang terkait ketentuan pidana, pengaturan sanksi terhadap pelaku tindak pidana korporasi, dll dalam UUHC agar tidak menjadi masalah yuridis dalam pelaksanaan UUHC dilapangan.
Hal itu untuk mempermudah aparat penegak hukum melakukan tindakan hukum. Komisioner Lembaga Managemen Kolektif Nasional Hak Terkait maupun Lembaga Manajemen Kolektif Nasional LMKN Hak Cipta untuk memperjuangkan perlindungan terhadap tindak pidana pembajakan hak cipta bidang musik dan lagu yang efektif dan mewadai para pencipta lagu atau pemegang hak cipta maupun Pemilik Hak Terkait yang memiliki hak Eksklusif baik hak Moral maupun Hak Ekonominya sebagai salah satu bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap Hak Azasi Manusia.
Dalam rangka mensejahterakan Para Pencipta lagu/Lirik maupun Pemegang hak Cipta yang berhak atas hak ekonominya secara adil dan wajar dan melindunggi dari tindak pidana pembajakan, pengcoveran lagu dan musik di kanal youtube tanpa lisensi pemegang hak cipta, pemegang hak terkait dan pelaku pertunjukan saat ini sedang marak di Indonesia.