Kian Amboro, Perbincangan Seputar Buku Pejambon 1945

UM Metro – Buku Pejambon 1945 Konsensus Agung Para Pendiri Bangsa adalah buku yang mengajak pembaca menyelami situasi pelik dan dinamika pada masa-masa penting negara republik ini didirikan.

Seperti ditulis oleh penulisnya, buku ini bersumber utama pada 2 buku rujukan yakni Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei 22 Agustus 1945, yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara Tahun 1995, dan buku Lahirnya UUD 1945  terbitan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan ditambah banyak rujukan penunjang lain.

Buku ini ditulis denga latar belakang keprihatinan penulisnya terhadap situasi dan kondisi saat ini, yang dirasa pemahaman sejarah kelahiran Pancasila dan UUD 1945 semakin meredup dari generasi ke generasi berikutnya.

ini sangat kontekstual sekali, pembedah mencoba merujuk hasil survei Litbang Kompas, Senin 22 Mei 2017, yang menunjukkan bahwa tingkat Solidaritas Sosial masyarakat Indonesia melemah 49,8%. Toleransi Antar Suku atau Etnis melemah 30,2%, toleransi antar umat beragama melemah 41,4%, dan toleransi antar golongan melemah hingga 52,9%, hasil yang dirasa tak terlalu mengejutkan karena fenomena ini sudah sangat terasa dan jelas akhir-akhir ini.

Iskandar P. Nugraha seorang Indonesianis dan Sejarawan Universitas New South Wales Australia, dalam pengantarnya mengungkapkan bahwa setiap bangsa selalu perlu mengunjungi kembali masa lalunya, menengok kembali ke belakang apa yang sudah lantas membuat refleksi diri yang lebih jernih. Peristiwa-peristiwa sejarah penting bagi suatu bangsa sebab menjadi  penyedia sumber energi yang tiada habisnya untuk menemukan jati diri dan identitas bangsa tersebut. Singkatnya, kembali menengok sejarah bangsa Indonesia akan mengingatkan tentang keberagaman dan mengingatkan soal esensi bagaimana Indonesia menjadi ada.

Bahaya besar mengancam dalam suatu bangsa apabila bangsa tersebut tidak memahami secara baik tetang konsesus dan filosofi yang mendasari pembentukan bangsanya. Apa yang dilakukan oleh para pemimpin kita adalah menemukan sesuatu yang ideal bagi semua. Di mana semua pihak dapat dipuaskan setinggi-tingginya.

Begitu banyak peristiwa rinci yang ditampilkan dalam buku ini. Perdebatan, ketidaksetujuan dalam rapat-rapat, dan lain-lain bagi generasi sekarang merupakan bagian yang amat menarik, karena memperlihatkan suasana yang terjadi. Meskipun memperlihatkan  perbenturan, konflik-konflik yang terjadi, pada akhirnya falsafah mencari pemufakatan dan azas perwakilan sangat dijunjung tinggi.

Jika boleh mengungkapkan, proses penemuan, perumusan dasar negara (Pancasila & UUD 1945) yang  bijak ini seperti dicontohkan sendiri oleh para penggagasnya. Nilai-nilai keluhuran budi yang menjadi ruh turut dihadirkan dan bersama diracik dalam diskusi dinamis yang terkadang alot dan ditutup dengan keikhlasan bersama dalam penerimaan hasil keputusan.

Dinamika hebat, upaya-upaya mengakomodir kompleksitas dari representasi kaum dan golongan yang ada di Indonesia (termasuk Indo dan Tionghoa) diperlihatkan.

Membaca buku ini dengan mendalam kita akan diberikan suatu pencerahan bahwa pemimpin Indonesia harus diakui memang hebat, memiliki kharisma, dan ide-ide brilian, tetapi tetap bertangguung jawab terhadap kekuasaan yang dipegangnya.

Sulit dibayangkan Indonesia yang demikian plural, tersegmentasi, dan penuh layar tersebut dapat terbentuk dalam satu kesatuan. (dan ironinya kondisi saat ini justru berusaha dipecah kembali).

Membaca lembar demi lembar, tergambar bagaimana rangkaian peristiwa sidang-sidang BPUPKI-PPKI dalam bulan, hari, jam, hingga menit. Terbayang situasi pelik, memanas, dilematis, dramatis, dialog-dialog samar (berbisik) antar tokoh dalam merancang bagaimana kedepan republik ini akan dibangun dan dibawa, hingga tetesan air mata keikhlasan dalam mengakhiri perdebatan tujuh kata sila pertama dasar negara demi terwujudnya Indonesia yg bersatu.

Mengutip sinopsisnya, buku ini menyajikan drama itu. Bukan degan bahasa yang tinggi nan penuh tata nilai akademis. Tetapi dengan bahasa kata dan cinta, agar bisa dicerna oleh siapapun yang menyebut dirinya sebagai manusia Indonesia. Dengan harapan bahwa generasi penerus negeri ini turut merasakan bahwa negara bangsanya dibangun dan dilahirkan dengan penuh cinta oleh para pendirinya. Cinta kepada Tuhan, dan cinta kepada sesamanya.

Buku ini berhasil menjahit gambaran utuh mozaik naratif tentang peristiwa apa yang terjadi, gambaran pergumulan pemikiran dan suasana kebatinan yang meliputi pelakunya ketika itu. Riwayat singkat para tokoh-tokoh yang terlibat dalam sidang-sidang BPUPKI-PPKI, meski ringkas ini sangat membantu pembaca dalam membangun empati historis (historical empathy) yakni turut merasakan dan memahami mengapa tokoh tersebut memiliki konsep tertentu dan mempertahankanya, intinya mampu memahami apa yang dipikirkan, dan juga merasakan apa yang dihadapi.

Meski dengan pendekatan state-sentris, law-sentris, dan politic-sentris, tetapi buku ini juga berhasil menghadirkan sisi humanitisnya. Mampu menghadirkan situasi yang sangat manusiawi yang bahkan tak berbeda jauh dengan yang dihadapi generasi saat ini, semangat, sedih, marah, berapi-api, kecewa, khawatir sebagai sisi lemah manusia, tetapi mampu dihadapi oleh para pendiri bangsa dengan cerdas dan bijak, disini pembaca dihadapkan pada ada dimana posisinya saat ini jika menghadapi situasi demikian.

Sisi Penulis Unik Dan Menarik

Fakta bahwa kedua penulis (Daradjadi dan Osa Kurniawan Ilham) tidak berlatar belakang sejarah. Daradjadi adalah mantan pejabat Departemen Keuangan yang kini telah memasuki masa pensiun, dan Osa Kurniawan Ilham adalah seorang Engineur yang bekerja di sebuah perusahaan multinasional minyak dan gas bumi.

Tidak memiliki latar belakang sejarah ternyata tak menghalangi kedua penulis ini menjadi peminat dan pemerhati sejarah. Sebelum buku ini terbit, telah ditulis beberapa buku terbitan sebelumnya yang juga bergenre sejarah (Peran Sepanjang 2008, Geger Pecinan 2013, Mr Sartono Pejuang Demokrasi 2014 – Daradjadi. Proklamasi Sebuah Rekonstruksi 2013 – Osa Kurniawan).

Meski tak mengenyam pendidikan formal sejarawan, kedua sejarawan otodidak ini tak serta merta mengabaikan sisi validitas data dan sumber yang digunakan dalam merekonstruksi peristiwa sejarah.

Ketelatenan dan keuletan penulis dalam menggunakan berbagai sumber, membuat karyanya semakin kaya. mungkin hal ini juga yang mempengaruhi gaya bahasa penulis yang begitu populer, terang, dan tak kaku (bandingkan dengan karya sejarah yang umumnya ditulis oleh sejarawan profesional yang cenderung ilmiah dan akademis sekali).

Penulis sepertinya memahami sekali apa yang dipikirkan oleh masyarakat awam tentang sejarah dan kesulitan apa yang kerap dijumpai ketika mencoba memahami sejarah, sehingga meskipun dikemas dengan gaya bahasa populer, sebagai bentuk validitasnya beberapa istilah asli memang tidak dapat digantikan atau di-Indonesiakan (beberapa istilah dalam hukum tata negara, istilah dalam bahasa Belanda, dan istilah dalam bahasa Jepang).

Sehingga keberadaan daftar istilah sebagai penjelas ini dirasa perlu keberadaannya dan akan sangat membantu pembaca dalam memahami secara utuh peristiwa sejarah maha penting dan penuh keteladanan ini.

 

Penulis: Kian Amboro

Tinggalkan Balasan