Profetik UM Metro – Allah SWT berfirman; Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri, padahal kalian membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian berpikir?(Al Baqarah ayat 44)
Semakin membaca Al Qur’an dan merenungkannya, semakin membuat hati kita serasa teraduk-aduk, bahkan bagi yang beriman akan bergetar hatinya, dan bisa tersungkur dalam kelemahannya. Sebagaimana Allah SWT gambarkan dalam Al Qur’an: ……..Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis. (QS. Maryam : 58) inilah yang pasti kita rasakan dalam diri kita.
Mari kita baca surat Al Baqarah ayat 44 di atas: Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri, padahal kalian membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian berpikir?
Sebuah evaluasi atau muhasabah diri kita” berapa banyak kita menyuruh kebaikan, sedangkan diri kita melalaikan diri kita sendiri? Kita mengajarkan kebaikan kepada mahasiswa tetapi kita tidak melakukan? Kita mengajarkan iman tapi kita ingkar dari iman itu sendiri? Kita mengajarkan keadilan sedangkan kita tidak adil? Kita mengajarkan pendidikan, tetapi keluarga kita tidak kita didik?
Muhasabah ini membuat merinding diri kita sendiri, sudahkah kita lepas dari ayat ini. Dari mampu memerintah kebaikan tapi kita lalai? Ancaman prilaku ini sangat keras, sebagaimana dalam hadits; bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda: Di malam aku diisrakan, aku bersua dengan suatu kaum yang bibir mereka digunting dengan gunting-gunting api, lalu aku bertanya, “Siapakah mereka itu?” Mereka (para malaikat) menjawab, “Mereka adalah tukang ceramah umatmu di dunia, dari kalangan orang-orang yang memerintahkan orang lain untuk mengerjakan ketaatan, sedangkan mereka melupakan dirinya sendiri, padahal mereka membaca Al-Qur’an. Maka tidakkah mereka berpikir?” yang dimaksud khutoba’ atau ulama bukan hanya para ustadz, kiayai tetapi siapun penyampai kebaikan yang dengan sengaja tidak mau melakukan apa yang diperintahkan dan diajarkan.
Dalam hadits lain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: Kelak di hari kiamat ada seorang lelaki yang didatangkan, lalu dicampakkan ke dalam neraka, maka berhamburanlah isi perutnya, lalu berputar-putar seraya membawa isi perutnya ke dalam neraka sebagaimana keledai berputar dengan penggilingannya. Maka penghuni neraka mengelilinginya dan mengatakan, “Hai Fulan, apakah gerangan yang telah menimpamu? Bukankah kamu dahulu memerintahkan kepada kami untuk berbuat yang makruf dan melarang kami dari perbuatan yang mungkar?” Lelaki itu menjawab, “Dahulu aku memerintahkan kalian kepada perkara yang makruf, tetapi aku sendiri tidak mengerjakannya; dan aku melarang kalian melakukan perbuatan yang mungkar, tetapi aku sendiri mengerjakannya.”
Demikianlah beratnya bagi kita yang diamanatkan ilmu pengetahuan, bahwa tanggung jawab amal lebih besar dibandingkan mereka yang tidak diamanahkan ilmu, sehingga rasulullah Saw bersabda:: Sesungguhnya Allah memaafkan orang-orang yang ummi di hari kiamat dengan pemaafan yang tidak Dia lakukan terhadap ulama Masha Allah berat nya menjadi ilmuwan atau ulama. Seakan ingin mereset ulang menjadi orang ummi (umum saja) yang akan terlepas dari ayat di atas.
Akan tetapi hadits ini bukan untuk melemahkan para ulama, akan tetapi melecut semangatnya, bahwa harus sepadan antara pengajaran dan pengamalan.
Bahkan paling miris secara sosiologis, ayat ini selalu ditujukan kepada ulama agama saja, sedangkan menyampaikan kebaikan adalah kewajiban semua manusia. Sebagai orang tua harus mengajar kebaiakan kepada anaknya, tetapi ketika dia melupakan dirinya maka ayat inipun akan mengenai dirinya.
Hakikatnya ayat ini ditujukan kepada ulama’ Yahudi yang mereka selalu menjadikan agama sebagai barang dagangan, menipu umat, memerintahkan kebaikan tetapi mereka tidak melakukan ajarannya, karena sudah mendapatkan dunia.
Hari ini kita melihat bagaiaman agama hanya dijual dan diajarkan sebagai sebuah program studi, diajarkan islamologi saja, tetapi jauh dari nilai-nilai Amaliah. Inilah yang berbahaya, karena mereka hakikatnya menjual agama, bukan berniat mengembangkan agama.
Sehingga hendaknya semua kita, terutama ulama dan ilmuwan menyelaraskan semua yang kita ajarkan dengan amal kebaikan kita, ini bentuk konsistensi dalam ilmu.
Kitab yang kita baca akan menjadi saksi, ilmu yang kita pelajari akan menjadi saksi, apakah kita yakini, kita amalkan atau hanya menjadi cerita opini dan wacana tanpa henti, bahkan hanya menjadi perdebatan tanpa usai.
Sudah waktunya iman, ilmu, dan amal menyatu terintegrasi menghadirkan peradaban profetis yang mencerahkan kehidupan.
Ini adalah bukti bahwa kita berfikir (ta’qilun), adalah mampu melakukan integrasi triadik antara iman, ilmu dan amal, karena ketiganya bukan suatu yang dikotomis, tetapi elaboratif. iman sebagai dasar atau sumber, ilmu sebagai alat membaca dan memahami, sedangkan amal adalah konsekuensi keduanya, sehingga lahirlah mereka insan profetis yang mendekati insan Kamil.
Series Bahagia dengan Al-Qur’an
Penulis: Dr. M. Samson Fajar, M.Sos.I. (Dosen FAI UM Metro)