Laman Opini UM Metro – Saat ini perguruan tinggi di Indonesia baik negeri ataupun swasta tengah berlomba-lomba untuk meningkatkan kualitas internal dalam menjalankan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Penerapan MBKM ini didasarkan adanya tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan, kompetensi dan keterampilan di era 4.0 menuju era 5.0. MBKM sendiri merupakan desain lanjutan dari penerapan kurikulum program studi berbasis Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang berorientasi pada keutuhan capaian kompetensi pembelajaran, meliputi unsur sikap/tata nilai, pengetahuan, keterampilan umum, dan keterampilan khusus.
Kebijakan KKNI secara tidak langsung menuntut semua pengelola program studi dapat menyempurnakan dokumen kurikulum yang menjadi acuan dosen mahasiswa dalam perkuliahan. Mulai dari pemutakhiran visi lembaga, penyesuaian profil utama dan tambahan, keterkaitan capaian pembelajaran (learning outcome), bahan kajian, hingga penetapan struktur kurikulum dengan kelayakan sistem kredit semester (sks). Prinsip utama dalam KKNI tentu saja bukan berapa banyak jumlah mata kuliah yang ditawarkan, tetapi seberapa besar kompetensi itu muncul dalam mata kuliah.
Sesuai regulasinya MBKM dilakukan dengan penyiapan kurikulum sebagai wadah rekognisi pembelajaran/kegiatan/aktivitas mahasiswa yang merdeka. Kebebasan pembelajaran/kegiatan/aktivitas akan diatur sesuai dengan capaian pembelajaran yang telah dijanjikan. Terkait kebijakan tersebut, dalam Permendikbud No.3 tahun 2020 menyebutkan bahwa Perguruan Tinggi wajib memberikan hak bagi mahasiswa untuk secara sukarela (dapat diambil atau tidak), berupa penyediaan kesempatan mengikuti kegiatan di luar perguruan tinggi, diitambah lagi aktifitas perkuliahan satu semester di luar program studi di kampus yang sama.
Kebijakan MBKM memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mendapatkan pengalaman belajar yang lebih luas dan kompetensi baru melalui beberapa kegiatan pembelajaran. Selain itu, mahasiswa juga diberikan kebebasan untuk mengikuti kegiatan belajar di luar program studinya di dalam perguruan tinggi yang sama dengan bobot sks tertentu. Semua kegiatan tersebut dapat dilakukan oleh mahasiswa dengan bimbingan dosen.
Implementasi MBKM dalam Perguruan Tinggi sejatinya hanya bertolak pada dua kegiatan besar, yang pertama, penyediaan perkuliahan 20 sks di luar prodi yang masih dalam satu institusi, dan kedua, penyediaan program atau kegiatan yang setara dengan 40 sks. Bagi mahasiswa, adanya program MKBM tentu sangat menguntungkan, antara lain peningkatan kompetensi, dan pengalaman baru (new experiences) sesuai kebutuhan mereka. Dari sisi jumlah distribusi mata kuliah yang dipilih jauh lebih simpel, karena boleh jadi mata kuliah tertentu tidak lagi dikuliahkan karena sudah berganti, terekognisi dengan kegiatan MBKM.
Dari sisi keuangan perguruan tinggi, pelaksanaan MBKM saat ini tidak berdampak pada stabilitas keuangan. Artinya pelaksanaan MBKM yang bersifat masih dalam jaringan (daring) tidak membutuhkan biaya akomodasi baik itu dari perguruan tinggi ataupun mahasiswa yang mengikuti MBKM. Kebijakan pemerintah saat ini tentang MBKM dapat berjalan dengan dana APBN atau dana mandiri. Untuk dana APBN adalah mahasiswa tetap membayar SPP di perguruan tinggi masing-masing walaupun mereka mengambil beberapa mata kuliah di perguruan tinggi lain. Hal ini sangat menguntungkan perguruan tinggi swasta karena tidak semua perguruan tinggi sudah memiliki nama di mata mahasiswa Indonesia. Sehingga kemungkinannya sangat kecil PTS tersebut untuk dipilih mahasiswa.
Tidak dapat dipungkiri bahwa mahasiswa akan memilih kampus besar dengan penawaran mata kuliah unggulan yang menarik. Hal ini secara tidak langsung membuat kampus-kampus kecil kalah bersaing dengan kampus besar yang mayoritas ada di pulau Jawa. Sedangkan syarat berlangsungnya kelas MBKM apabila kuota mahasiswa mencapai 20 orang untuk 1 mata kuliah yang ditawarkan.
Saat ini pelaksanaan MBKM masih berdasarkan seleksi yang diadakan oleh Kemdikbud Ristek. Mahasiswa yang lulus seleksi MBKM dapat memilih mata kuliah yang ditawarkan pada perguruan tinggi yang telah ditentukan. Sehingga untuk pembiayaan masih ditanggung oleh APBN seutuhnya, baik itu untuk kepentingan perkuliahan ataupun akomodasi dosen. Namun akan berbeda bila pelaksanaan MBKM dilaksanakan secara luring dan mandiri. Mahasiswa akan membayar SPP sejumlah yang ditentukan oleh perguruan tinggi yang dituju, selain itu juga mahasiswa harus menyiapkan dana untuk tempat tinggal dan biaya hidup.
Pelaksanaan MBKM secara mandiri ini akan menguntungkan perguruan tinggi yang memiliki banyak peminat karena akan mendapat pemasukan tambahan dari mahasiswa luar. Sedangkan bagi perguruan tinggi kecil hal ini akan menjadi bumerang besar karena mahasiswa akan memilih kampus luar yang lebih besar dan secara otomatis mereka akan membayar SPP dikampus tersebut.
Kondisi keuangan perguruan tinggi dapat dipastikan goyah karena jumlah pemasukan yang bersumber dari SPP akan berkurang. Hal ini yang menjadi ancaman sekaligus tantangan PTS yang berada di luar pulau Jawa khususnya Sumatra. Bagaimana Perguruan Tinggi dapat membuat kampusnya layak jual di mata mahasiswa.
Penulis: Suyanto, S.E., M.Si., Akt., CA., ACPA., CRA. (Wakil Rektor II UM Metro)