
Opini UM Metro – Kandungan isi al-Qur’an bila dipelajari dan ditelaah berisi dua bagian besar ajaran, yaitu ajaran yang berhubungan dengan persoalan ibadah mahdhoh dan ajaran yang berhubungan dengan ibadah sosial. Ibadah mahdhoh adalah ibadah yang langsung dilakukan secara individual antara manusia dengan Allah SWT melalui tata-cara, syarat dan prosedur tertentu (kaifiyat). Hubungan individual manusia dengan Allah ini dalam Al-qur’an disebut dengan hablun minallah. Sementara ibadah sosial adalah ibadah yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya dalam kehidupan sosial. Hubungan manusia dengan manusia lainnya ini yang kemudian dalam al-Qur’an disebut dengan hablul minnannas. (QS. Ali Imron: 112). Di dalam Islam semua aktivitas yang dilakukan manusia adalah perwujudan pengabdian kepada Allah SWT (bernilai ibadah). Namun demikian, interaksi antara manusia dengan manusia lainnya dalam kehidupan sosial di dalam Islam dapat dinilai sebagai ibadah jika diniatkan semata-mata untuk pengabdian kepada Allah SWT.
Realitas yang ada menunjukkan, kebanyakan manusia menganggap ibadah yang betul-betul dirasakan sebagai ibadah adalah yang dalam bentuk ibadah madhah khassah. Ibadah-ibadah ini seperti shalat, berpuasa, haji, membaca al-Qur’an, berdzikir dan lain sebagainya. Sehingga bagi sebagian besar orang ibadah ini mendapatkan perhatian dan porsi yang lebih penting. Sementara ibadah sosial yang berhubungan dengan intereksi manusia dalam kehidupan sosial seperti menjalin hubungan yang baik dengan sesama, menolong orang yang kesusahan, membantu fakir miskin, menyantuni anak yatim, tanggap bencana, memberantas kebodohan dan keterbelakangan, dan lain-lain, dinilai kurang penting atau seringkali kurang mendapatkan perhatian bila dibandingkan dengan ibadah mahdhah khassah.
Di dalam al-Qur’an ayat-ayat yang mengatur persoalan hukum fikih terutama dalam masalah ibadah mahdhah jumlahnya sesungguhnya tidak terlalu banyak bila dibandingkan dengan ayat-ayat yang membahas tentang persoalan sosial dan persoalan yang berkaitan dengannya. Para ulama seperti Al-Ghazali, Ar-Razi dan Al-Mawardi, menilai bahwa jumlah ayat hukum itu terbatas dalam jumlah ayat tertentu.
Ibnu al-Arabi misalnya, berpendapat bahwa jumlah ayat hukum dalam al-Qur’an kurang lebih 800 ayat, namun Al-Gahazali menilai bahwa jumlahnya dalam kisaran 500 ayat saja. Di lain pihak Ash-Shan’ani berpendapat jumlahnya berkisar 200 ayat, dan pendapat Ibnul Qayyim meyakini jumlahnya hanya kurang lebih 150 ayat saja. Selebihnya, dari kitab suci al-Qur’an yang berjumlah 30 Juz, 114 surat dan 6236 ayat itu berbicara dan menjelaskan tentang persoalan-persoalan sosial, petunjuk-petunjuk dan kisah-kisah tentang umat masa lalu sebagai pelajaran bagi manusia.
Bukan berarti permasalahan ibadah sosial itu lebih penting dan lebih berharga daripada ibadah individual hanya karena porsi jumlah ayatnya lebih besar, namun juga bukan berarti sebaliknya ibadah individual lebih penting dibandingkan dengan ibadah sosial. Keduanya sama-sama penting dan harus mendapatkan perhatian dan pengamalan yang sama pentingnya. Karena sama pentingnya tersebut maka tidak sepatutnya jika yang satu menafikan yang lain. Pandangan yang menilai bahwa ibadah sosial dinilai kurang penting atau kurang mendapatkan perhatian yang memadai harus dikikis dan menempatkan keduanya pada posisi yang beriringan, seimbang dan saling mengisi.
Pandangan Islam Tentang Masalah Sosial
Beberapa peristiwa penting dalam sejarah dan merujuk pada ketentuan dalam syariat Islam menunjukkan betapa Islam sangat memperhatikan kepada persoalan-persoalan sosial. Sebagai contoh, tentang persoalan perbudakan. Dalam Islam, perbudakan adalah kenyataan sosial yang sudah beratus-ratus tahun menjadi realitas dalam kehidupan masyarakat di Jazirah Arab dan sekitarnya. Perbudakan dalam Islam tentu dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan hak azazi manusia. Perbudakan bertentangan dengan pandangan Islam yang menganggap manusia itu adalah setara dihadapan Allah SWT dan kemuliannya tidak ditentukan oleh derajat dan struktur duniawi.
Perbudakan sebagai realitas sosial yang sudah cukup kuat mengakar dalam masyarakat itu jika dihapuskan secara frontal akan mengguncangkan sendi-sendi sosial, maka Islam menghapuskannya secara perlahan dan bertahap. Sebab itu dalam Islam, bagi meraka yang mampu dan memerdekakan seorang budak dinilai sebagai sikap yang mulia dan dinilai sebagai ibadah. Hukum-hukum tertentu dalam fikih memasukkan syarat memerdekakan budak sebagai hukuman bagi pelanggar aturan hukum Islam. Misalnya, salah satu kafarat (hukuman) bagi mereka yang berhubungan suami istri (jima’) di siang hari di bulan Ramadhan adalah memerdekakan seorang budak. Dengan demikian, ini bukti bahwa Islam sangat peduli dengan persoalan sosial.
Contoh lain kepedulian Islam dalam masalah sosial yang dikaitkan dengan hukuman terhadap pelanggaran ibadah mahdhah adalah masih dalam soal kafarat puasa sebagaimana di atas. Jika seseorang tidak mampu memerdekakan seorang budak, maka pilihan kafarat lainnya adalah memberi makan 60 orang fakir miskin, dan pilihan lainnya adalah berpuasa dua bulan berturut-turut. Hukuman untuk berpuasa dua bulan berturut-turut itu dibuat sangat berat bisa jadi dimaksudkan supaya orang memilih sanksi hukuman sosial memerdekakan budak atau memberi makan fakir miskin 60 orang dibandingkan puasa dua bulan berturut-turut.
Untuk mengatasi permasalahan sosial tentang literasi kaum muslimin, terutama ketidkmampuan membaca dan menulis yang banyak dialami kamu muslimin, maka Rasulullah menyelesaikannya dengan memanfaatkan tawanan perang. Dahulu dalam perang Badar yang dimenangkan secara gemilang oleh pasukan kaum muslimin, banyak orang-orang kafir Qurays yang ditangkap dan menjadi tawanan perang. Rasululah menetapkan pembebasan bagi para tawanan perang ini jika mereka mau mengajari baca tulis terhadap 10 orang kaum muslimin. Ini berlaku bagi tawanan perang yang memiliki kemampuan membaca dan menulis. Dengan pola ini secara bertahap persoalan sosial yang berhubungan dengan pendidikan dasar baca tulis bisa diselesaikan.
Betapa pentingnya peduli dengan persoalan sosial dan melakukan ibadah sosial ini sampai-sampai Rasul menyebut orang yang terlalu asik dengan ibadah mahdhah individual tetapi mengabaikan ibadah sosial disebut sebagai orang yang muflis (bangkrut). Orang-orang yang bangkrut ini nanti akan ketahuan setelah melalui proses hisab amal ibadahnya ketika di akhirat. Ternyata meskipun ia rajin shalat, puasa, haji dan sebagainya sewaktu hidup di dunia, namun karena kurang peduli dengan hubungan dan interaksinya dengan manusia lain atau tidak suka membantu dan peduli dengan sesama maka ia akhirnya dimasukkan ke dalam nereka.
Dus, dengan demikian, ber-Islam yang baik itu adalah mereka yang mengamalkan ajaran Islam yang kaffah dan utuh. Bukan mengamalkannya sebagian-sebagian atau parsial. Karena ajaran Islam berisi tuntunan tentang aturan ibadah individual dan ibadah sosial, maka seorang muslim juga dituntut untuk menjadi shaleh secara individual dan juga shaleh secara sosial. Bidang amal shaleh itu bukan hanya dengan menjalin hubungan secara individual vertikal kepada Allah SWT semata, tetapi juga dengan menjalin hubungan secara ghorizontal kepada sesama manusia.
Bagi Muhammadiyah, tentu saja kedua amal shaleh tersebut di atas sudah lama menjadi nafas dan gerak langkah dalam menjalankan dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Pada posisi ini Muhammadiyah sudah pada rel yang benar. Bagi Muhammadiyah dakwah tidak cukup hanya dengan bil-lisan (dengan ceramah, khutbah, pengajian), tetapi harus juga dengan bil-hal (perbuatan dan bukti nyata). Sebab itu sejak awal berdirinya, dakwah Muhammadiyah disamping mengajak kepada pemahaman dan cara ibadah yang benar sesuai dengan tuntuna al-Qur’an dan as-Sunnah, Muhammadiyah juga berdakwah untuk mengatasi persoalan-persoalan sosial seperti pendidikan, kemiskinan dan kesehatan.
Dewasa ini, seiring dengan tuntutan dan perkembangan yang ada garapan dakwah sosial Muhammadiyah ini semakin beragam dan terdiversifikasi. Sudah sangat lama Muhammadiyah menggarap dan mempelopori lahirnya panti asuhan yatim piatu, pengelolaan LAZ yang professional untuk mengatasi persoalan kemiskinan, lembaga tanggap bencana, dan dimasa pandemi covid-19 ikut terlibat secara aktif membantu pemerintah. Namun demikian, usaha dakwal bil-hal ini harus terus semakin ditingkatkan dan menggarap bidang-bidang sosial lain yang selama ini masih terabaikan seperti pelayanan sosial bagi lansia yang terlantar, layanan bagi ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa) yang masih sering disaksikan berkeliaran di jalanan tanpa ada yang mengurus, layanan sosial bagi orang dengan masalah sosial seperti gelandangan, pengemis, dan anak-anak putus sekolah, layanan bagi mereka yang cacat fisik, dan anak-anak luar biasa lainnya.
Massifikasi dan diversifikasi ibadah dan dakwah sosial ini akan membuat masyarakat merasakan langsung konstribusi persyarikatan Muhammadiyah bagi masyarakat luas dengan tanpa membedakan latar belakangnya. Sekaligus akan menunjukkan secara langsung dan nyata kepada masyarakat arti dan makna Islam sebagai Rahmat bagi semesta alam. Wallahu a’lam bishawab.
Penulis : Dr. Mukhtar Hadi, M.Si. (Anggota BPH UM Metro)