Kematian Akan Menjadi Bukti Ketidakpercayaan

Profetik UM Metro – Setelah itu Kami bangkitkan kalian sesudah kalian mati, supaya kalian bersyukur.(Al Baqarah ayat 55)

Manusia memang makhluk yang luar biasa, berbekal akal dia mampu menjadi manusia yang melebihi malaikat, akan tetapi denganya juga bisa menjadi manusia sombong seperti Fir’aun.

Kesombongan itu diceritakan ketika Musa mengenalkan taurat, Bani Israil meminta untuk melihat Allah SWT dengan indera mereka, akhirnya Allah SWT musnahkan mereka dengan Sambaran halilintar. Setelah kemusnahan itu maka Allah SWT membangkitkan mereka kembali, dengan harapan mereka menjadi beriman, tetapi kesombongan telah menutupi hati mereka.

Sebagaimana dalam riwayat dalam tafsir Ibnu Katsir: Musa ‘alaihissalam berkata kepada mereka, “Ambillah Kitabullah ini!” Mereka menjawab, “Tidak.” Musa ‘alaihissalam berkata, “Apakah yang telah menimpa kalian?” Mereka menjawab, “Kami mengalami mati, kemudian kami dihidupkan kembali.” Musa ‘alaihissalam berkata, “Terimalah Kitabullah ini.” Mereka menjawab, “Tidak.” Maka Allah mengirimkan malaikat, lalu malaikat mencabut bukit dan mengangkatnya di atas mereka. Konteks riwayat ini menunjukkan bahwa mereka dikenakan taklif (paksaan) untuk mengamalkan kitab itu sesudah mereka dihidupkan kembali.

Dalam kisah ini penulis mengambil pelajaran bahwa kematian adalah akhir dari kesombongan. Kematian adalah akhir dari ketidak percayaan akan Tuhan.

Kisah Bani Israil yang mereka tidak mau kembali kepada Allah setelah kematiannya, karena mereka masih dihidupkan kembali, dan masih percaya diri bersama Musa as yang akan selalu memenuhi kehendak mereka.

Sebagai pembaca Al Qur’an maka kita hendaknya mengambil inti ajaran ini, bahwa semua akan terbukti setelah kematian.

Setelah di alam akhirat orang-orang kafir menyesal kenapa di dunia dia tidak bersyahadat (menjadi seorang muslim) percaya bahwa Allah SWT yang Maha Esa dan Muhammad adalah utusannya. Penyesalan ini diabadikan oleh Allah SWT dalam surat Al-Hijr ayat 2-3 yang artinya: “Orang-orang yang kafir itu sering kali (nanti di akhirat) menginginkan kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim. Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka). (Al-Hijr: 2-3). dalam ayat lain : “Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata), Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), niscaya kami akan mengerjakan kebajikan. Sungguh, kami adalah orang-orang yang yakin.” (QS. As-Sajdah 32: Ayat 12)

Demikianlah mereka akan memahami apa yang mereka lakukan, penyesalan demi penyesalan akan mereka rasakan, akan tetapi semua sudah terlambat.

Orang-orang kafir mengira mereka tidak akan dibangkitkan kembali, walau saat ini banyak ilmuwan yang meneliti bagaimana menghidupkan manusia lagi, akan tetapi semua itu hanyalah Senda gurau belaka. Keyakinan bahwa akhirat nyata adalah hak, maka sebagai seorang mukmin wajib meyakini, dan biarlah orang kafir menyesal nanti.

Hal ini tidaklah menyalahi logika, karena memang manusia mengalami banyak tahapan, dari tiada menjadi ada, dan terus menuju fase selanjutnya. Bagi mereka yang melihat sesuatu hanya dengan inderawi belaka secara empiris maka setelah kematian adalah akhir segalanya.

Bagi insan profetis kematian adalah awal kehidupan yang sempurna, dan sangat dinantikan oleh semua manusia.

Hidup di dunia tidak ada jaminan sama sekali, namun kematianlah yang betul-betul menjamin segalanya kita menjadi jaminan. Tapi, mengapa banyak orang belum menyadari kematian.”

Sehingga bagi mereka yang beriman akan menjadikan kematian adalah awal segala kebahagiaan, bukan akhir dari kehidupan.

Seri Bahagia dengan Al-Qur’an
Penulis : Dr. M. Samson Fajar, M.Sos.I. (Dosen FAI UM Metro)