Laman Opini UM Metro – Kemajuan zaman saat ini berhasil menghantarkan keterbukaan informasi yang masif termasuk ilmu pengetahuan yang dapat diakses banyak orang melalui smartphone atau pun laptop dari mulai anak-anak hingga orang dewasa sekalipun. Keterbukaan informasi yang signifikan atas dorongan teknologi digitalisasi kini mampu menembus batas dan waktu yang dulu sempat menjadi penghalang bagi para pelajar untuk menggali ilmu pengetahuan yang mendalam. Jika para generasi dulu harus berkelana dan berduyun mencari sosok guru sebagai tempat ilmu pengetahuan berkumpul, sebagian yang lain bahkan rela menghabiskan waktunya berjam-jam di perpustakaan. Namun saat ini semua ilmu pengetahuan dapat dipelajari dengan sangat gamblang, sangking gamblangnya tidak ada hal yang tidak bisa dipelajari dan dicari dengan memanfaatkan aplikasi pencarian yang tersedia di smartphone kesayangan generasi muda saat ini.
Hal ini makin masif dipraktikkan sejak Pandemi Covid-19 merambat ke penjuru dunia termasuk Indonesia. Sistem pembelajaran dalam jaringan (daring) yang dulu sempat asing di telinga masyarakat Indonesia, kini menjadi terdengar seakan hal yang normal. Bahkan tidak sedikit frasa pembelajaran daring menjadi perbincangan pelajar SD hingga mahasiswa Perguruan Tinggi. Semua tugas yang diberikan baik oleh guru maupun dosen dapat dengan mudah dijawab mereka. Entah jawaban tersebut datang dari buah pikir dan kerja tangan mereka sendiri, atau justru banyak bayang-bayang lain yang ikut andil dalam proses penanaman ilmu pengetahuan sebagai modal sukses di masa depan. Hal yang pasti adalah, informasi yang mereka butuhkan sudah tertuang dan tersaji dengan baik di internet sehingga tugas demi tugas yang mereka terima dapat dengan mudah terselesaikan. Hanya saja hal yang perlu dipikirkan bagi tenaga pengajar bagaimana membuat mereka tidak menelan mentah-mentah apa yang mereka baca apalagi menjadikannya sebagai jawaban mutlak, melainkan bagaimana sang pendidik mampu membuat mereka memahami hal tersebut kemudian membuat jawaban dengan menggunakan kalimat mereka sendiri yang disebut parafrasa.
Kemajuan teknologi ini juga berhasil menghantarkan para pejuang ilmu belajar mandiri. Mereka mampu mengulik informasi semau mereka sehingga tidak mengherankan jika di dalam proses pembelajaran sebagian pelajar kadang lebih memahami suatu persoalan ketimbang pengajarnya. Jika dulu tenaga pengajar diuntungkan karena pengalaman, maka sekarang generasi muda dapat belajar dengan lebih cepat karena bantuan teknologi yang sudah tak terbendung lagi. Jika generasi muda mampu memanfaatkan teknologi tersebut ke arah yang positif untuk menggali ilmu pengetahuan, maka ke depan mereka akan menjadi generasi yang kuat, tangguh, dan profesional di bidangnya. Apalagi kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbud Ristek) perihal kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang membuat pelajar memiliki kesempatan untuk menggali potensi yang mereka miliki seluas-luasnya. Para pelajar diberikan kebebasan untuk memilih tempat belajar tidak hanya terbatas di ruang kelas, perpustakaan, atau pun di laboratorium saja akan tetapi mereka juga memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di perindustrian secara langsung, pusat riset, tempat kerja, tempat pengabdian, pedesaan, dan masyarakat sesuai dengan potensi, bakat, minat, spirit dan cita-cita yang mereka inginkan. Karena pemerintah menginginkan generasi muda saat ini siap menjadi lulusan yang tangguh, adaptif, dan selaras dengan kebutuhan zaman, serta siap menjadi pemimpin di masa depan dengan semangat kebangsaan yang tinggi.
Hanya saja, hal ini perlu perhatian khusus dari aspek sikap atau afektif. Kemajuan zaman seringkali membuat perilaku generasi muda justru bertolak belakang dengan ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Sehingga seringkali ditemukan perilaku siswa kurang santun dalam bersikap kepada yang lebih tua baik kepada tenaga pengajar, orang tua maupun masyarakat umum. Sikap acuh tak acuh juga menjadi salah satu karakter generasi muda saat ini akibat kebiasaan mereka yang cenderung menyukai pengoperasian smartphone sebagai tempat mencari solusi dari semua persoalan ketimbang mendiskusikannya dengan orang lain. Padahal Islam telah mengajarkan bahwa mengedepankan adab ketimbang ilmu adalah keniscayaan sebagaimana yang disampaikan ulama besar kita Ibnul Mubarok, “Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”
Sangking pentingnya adab, Muhammadiyah melalui Amal Usahanya yang bergerak di dunia Pendidikan menjadikan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan sebagai mata pelajaran/mata kuliah yang wajib diikuti oleh semua pelajar. Hal ini tak lain adalah langkah Muhammadiyah untuk memberikan keseimbangan antara kognitif, afektif dan psikomotor para pelajar. Langkah yang sama juga untuk menyeimbangkan antara hati nurani dengan logika berpikir. Sebagian pelajar bisa saja dalam mengambil sikap terhadap suatu permasalahan mengandalkan logika tanpa memperhatikan hati nurani mereka, apakah yang mereka kerjakan sudah benar atau justru sebaliknya. Para pelajar di Muhammadiyah hendaknya menjadikan aspek profetik (Siddiq, Amanah, Tabligh, dan Fathonah) sebagai pintu gerbang dalam mempertimbangkan sesuatu sementara logika akan menjadi langkah untuk mengerjakan sesuatu halnya. Allah SWT berfirman dalam surah Al-Ahzab ayat 21, “Sungguh, telah ada para (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” Jika aspek profetik yang didasarkan pada empat sifat nabi menjadi pangkal mengambil kebijakan maka tentu tindakan yang diambil oleh para pelajar akan sesuai dengan hati Nurani yang Allah ciptakan condong pada kebenaran.
Penanaman nilai-nilai profetik ini akan menjadi pengikat bagi lulusan-lulusan Muhammadiyah di mana nanti di masa depan mereka tidak hanya profesional di bidangnya semata, akan tetapi juga dapat memanfaatkan keahliannya agar berguna bagi dirinya sendiri, orang lain, dan bangsa. Hal ini akan membuat mereka menargetkan hal baru sebagai capaian akhir yakni keindahan tempat di akhirat, bukan hanya sekedar kebahagiaan di dunia saja. Sehingga jika nanti mereka menjadi ahli hukum, mereka akan menjadi ahli hukum yang menegakkan keadilan sesuai hati nurani mereka yang akan mengedepankan aspek hukum sebab akibat dalam mengambil keputusan. Jika mereka menjadi akuntan, mereka akan menjadi akuntan yang adil dan jujur dalam menghitung segala halnya bukan hanya mengandalkan standar administrasi namun juga kejujuran yang berdasarkan hati nurani. Jika mereka menjadi dokter, mereka akan mengedepankan aspek kemanusiaan ketimbang hanya menjadikan uang sebagai syarat penanganan atas jasa keprofesionalan mereka. Begitulah mestinya lulusan Muhammadiyah dalam kehidupan bermasyarakat.
Penulis: Dr. M. Ihsan Dacholfany, M.Ed.