Dont Judge a Book by Its Cover
- 31 Juli 2018
- Posted by: Humas UM Metro
- Category: Uncategorized @id
Laman Opini UM Metro – Saya tiba-tiba saja tergelitik untuk menulis ini, karena membaca postingan seorang teman serta respon yang diberikan oleh teman lainnya. Saya tidak akan mengutip secara detail, tapi yang didebatkan pada intinya adalah penampilan seseorang. Teman yang pertama merasa “tertipu” dengan penampilan seorang tokoh yang religius, namun ternyata bermasalah dengan pihak berwajib. Protes pun timbul karena teman ini menganggap bahwa yang berpenampilan menjanjikan saja bisa berperilaku buruk, apatah lagi dengan yang penampilannya amburadul. Teman yang protes tadi menganggap bahwa pemikiran tersebut mengusung logika yang salah, karena seolah-oleh mereka yang berpenampilan amburadul pasti akan berperilaku lebih buruk dari yang penampilannya baik-baik saja. Perdebatan pun tidak berlanjut, dan saya juga tidak berniat membela pihak manapun.
Tapi, betulkah penampilan itu penting?
Menurut saya, tergantung pada kebutuhan. Secara praktis, penampilan adalah sesuatu yang dilihat dan dinilai oleh kita, saat pertama kali berjumpa dengan seseorang. Tidak perlu dipungkiri, kadang kala sedikit banyak pandangan pertama bisa memberikan gambaran tentang seseorang, walaupun tidak secara keseluruhan. Itulah mengapa, biasanya kita akan berpenampilan sebaik mungkin saat menghadapi tes wawancara sebagai bagian dari proses mencari kerja, beasiswa, atau seleksi lainnya. Tentunya kita ingin memberikan kesan yang terbaik selama masa wawancara yang singkat tersebut. Jangan sampai, potensi diri kita yang sesungguhnya tidak memiliki kesempatan untuk bersinar hanya gara-gara penilaian terhadap diri kita jatuh akibat penampilan yang kurang meyakinkan.
Contoh singkat saja, suatu penerbit biasanya akan berupaya sebaik mungkin dalam mendesain cover buku yang akan dijualnya. Pooling singkat bahkan kadang-kadang dilakukan untuk melihat cover mana yang lebih disukai oleh calon pembaca. Mengapa demikian? Karena daya jual sebuah buku, salah satunya dipengaruhi oleh sampul depannya. Bahkan, untuk buku yang penulisnya belum dikenal serta belum memiliki review yang menarik minat pembaca, cover ini menjadi ujung tombak dalam mendongkrak penjualan.
Dalam suatu institusi, bagian public relation atau hubungan masyarakat juga menjadi ujung tombak dalam memberikan citra yang baik dan terpercaya. Sebagai penjaga garis depan, mereka yang bekerja di bagian ini dituntut untuk berpenampilan rapi, necis, serta klimis. Untuk institusi yang agamis, tentunya mereka dituntut untuk berpenampilan religius. Berbanding terbalik, seorang anggota kepolisian yang ditugaskan untuk menyamar di lapangan justru dituntut untuk berpenampilan seurakan mungkin. Hal ini semakin menguatkan bahwa penampilan pada dasarnya digunakan untuk membangun kepercayaan orang lain bahwa kita sejatinya adalah seperti yang kita tampilkan. (filles-du-coeur-de-marie.cef.fr)
Demikian juga dengan seseorang yang mewakili “brand” tertentu. Seorang pemilik usaha, tentu ingin produknya terwakili dengan baik oleh seorang “brand ambassador”. Pemilihan seorang duta produk atau merk tertentu dilakukan dengan hati-hati. Bukan tidak mungkin kerja sama akan segera berakhir jika sang duta produk terlibat masalah yang beresiko mengganggu image dan penjualan produk yang diwakilinya. Lebih jauh lagi, seorang duta shampoo misalnya, dituntut untuk selalu menggeraikan rambutnya dalam setiap penampilan publik, atau seorang duta smartphone tidak boleh terlihat menggunakan merk smartphone lain di hadapan publik sebagai bagian dari kesepakatan kerja sama.
Jadi, secara gamblang bisa disimpulkan bahwa penampilan itu penting. Namun, apakah penampilan jauh lebih penting daripada isi?
Baru-baru ini media sosial dihebohkan dengan kasus “bullying” yang dilakukan oleh seorang juri audisi lomba penyanyi dangdut. Tanpa diberikan kesempatan untuk menyanyi terlebih dulu, seorang calon peserta langsung didepak oleh juri dikarenakan penampilannya yang dianggap di bawah standard. Netizen pun langsung balik mem”bully” sang juri karena menganggap apa yang ia lakukan itu berlebihan, karena sejatinya sang peserta diaudisi untuk kemampuan vokalnya, bukan penampilan fisiknya semata.
Sebuah acara kompetisi menyanyi lainnya bahkan berkonsep blind audition, di mana seorang peserta akan bernyanyi, sementara para juri hanya bisa mendengarkan sambil membelakangi peserta. Hal ini dilakukan karena tujuan dari audisi ini adalah untuk mencari calon penyanyi yang memang mumpuni dari segi vokal, tidak peduli bagaimana pun penampilannya. Jika para juri diperbolehkan melihat penampilan para peserta, bukan tidak mungkin penilaian mereka akan mejadi bias akibat penampilan fisik peserta.
Dalam kehidupan sehari-hari, di mana penampilan sedang “tidak dibutuhkan”, seseorang cenderung akan berpenampilan sesuai dengan jiwa dan kepribadiannya. Mereka yang sudah merasa bahwa kualitas diri merekalah yang akan dicari oleh orang lain, maka biasanya tidak akan repot-repot mendandani diri secara berlebihan. Menteri Susi misalnya—terlepas dari peranan beliau yang penting dalam pemerintahan—terbiasa berpenampilan kasual, bahkan terkadang cenderung kontroversial. Namun seolah beliau tidak ambil pusing dengan pendapat orang lain akan penampilannya, terus memfokuskan diri pada kualitas kerja. Dan pada kenyataannya, masyarakat seolah tidak berkeberatan dengan penampilan sang menteri, karena menilai hasil kerjanya sangat menjanjikan.
Teringat saya waktu masih menempuh studi S2 di Adelaide, South Australia, sebagian besar professor di sana tidak “terlihat” sebagai seorang professor sama sekali. Bercelana pendek, mengenakan tank top, bersepatu snickers, merupakan penampilan umum yang terlihat, terutama di musim panas. Di sana, professor tidak harus identik dengan pakaian resmi terbalut jas, karena mereka disibukkan oleh kegiatan riset dan pendidikan yang justru membutuhkan tampilan yang nyaman. Namun, tidak urung setelan tuxedo juga mereka kenakan saat ada momen-momen resmi yang mengharuskan mereka berpenampilan resmi.
Bahkan pada waktu saya memeriksakan kandungan di sana, yang menyambut saya adalah seorang dokter yang berpenampilan sangat kasual, sehingga saya sendiri tidak menyangka bahwa beliau adalah seorang dokter. Hal ini sangat berbeda dengan stereotype seorang dokter yang kita kenal di Indonesia. Lagi, hal ini membuktikan bahwa kualitas seseorang kadang kala tidak perlu sokongan penampilan.
Lalu, perlukah menjaga penampilan setiap saat? Ini kembali kepada pribadi masing-masing. Terlepas dari kebutuhan atau penilaian terhadap diri masing-masing, adalah penting untuk tetap jujur dalam berpenampilan. Menjadi diri sendiri selalu merupakan pilihan yang terbaik dengan tetap mengindahkan estetika. Pada akhirnya, berpenampilan menarik memang penting, namun bukan segala-galanya. Berkepribadian menarik, menurut saya jauh lebih penting.
Penulis : Kartika Sari, S.Si., M.Bts. (Dosen Prodi Pendidikan Biologi UM Metro)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.