Penulis: Dr. M. Samson Fajar, M.Sos.I. (Dosen FAI UM Metro)
Di hari yang ketiga di bulan puasa ini saya ingin membahas bagaimana puasa seorang wanita. Wanita dalam keluarga sebagai bagian terpenting, dia sebagai seorang istri, sebagai ibu bahkan sebagai guru dalam kehidupan anak-anaknya. Sangat besar peranan dirinya, sehingga dalam bahasa arab seorang ibu disebut “Al Um” yang bermakna “ sesuatu yang lahir darinya” atau sering disebut induk dari semuanya.
Artinya, segala kebaikan adalah lahir dari seorang ibu, anak yang cerdas dari ibu yang cerdas, anak yang baik sangat dipengaruhi ibu yang baik, anak yang sholih juga dipengaruhi oleh ibu yang baik. Itulah mengapa kesuksesan para nabi dalam al-Qur’an berada dalam asuhan seorang single mom, atau ibu yang mandiri. Nabi Ismail as dibesarkan ibunya, Nabi Musa as dibesarkan ibunya, Nabi Isa as dibesarkan ibunya, Nabi Muhammad saw juga dibesarkan oleh seorang ibu. Imam syafi’I juga lahir dibesarkan oleh seorang ibu tanpa ayah yang mendampinginya, sehingga ada sebuah buku “ Ibundanya Para Ulama.”
Puasa adalah jalan para Ibu membangun kualitas diri, sebagai pendamping suami dan sebagai seorang ibu. Terutama yang paling berat bagi seorang ibu adalah memenajemen kata dalam puasa, karena memang secara fitrah seorang wanita memiliki produksi kata lebih besar daripada lelaki.
Terdapat beberapa penyebab yang menyebabkan wanita lebih banyak berbicara daripada pria. Salah satu alasan utama adalah komunikasi sebagai alat sosial bagi wanita, yang sering menggunakan komunikasi verbal untuk membangun hubungan dan ikatan dengan orang lain. Pria, pada sisi lain, lebih suka komunikasi yang bersifat praktis dan langsung.
Sebagai contoh, sebuah studi yang dilakukan oleh Louann Brizendine menunjukkan bahwa wanita bicara sekitar 20.000 kata per hari, sementara pria hanya 7.000 kata. Selain itu, protein FOXP2, yang berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan vokalisasi maupun berbicara, ditemukan lebih banyak di otak anak perempuan dibanding anak laki-laki.
Tetapi, perlu diingat bahwa stereotip mengenai wanita lebih banyak berbicara tidak sepenuhnya tepat, karena perbedaan dalam pola bicara antara perempuan dan pria lebih kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Secara sederhana memang wanita akan lebih banyak berhadapan dengan anak-anak, apalagi dalam puasa, membangunkan sahur, meminta bantuan, mengajak beribadah dan seterusnya. Belum ditambah suaminya yang mungkin tidak terlalu ideal, ini menjadi tambahan beban bagi beratnya puasa seorang wanita. Sehingga sungguh saling memahami dan saling membantu adalah jalan terbaik, untuk meringankan beban psikologis maupun fisik.
Rasulullah saw bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ رِوَايَةً قَالَ إِذَا أَصْبَحَ أَحَدُكُمْ يَوْمًا صَائِمًا فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ فَإِنْ امْرُؤٌ شَاتَمَهُ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ إِنِّي صَائِمٌ
Artinya: “Dari Abu Hurairah -secara riwayat (menukil dan menceritakan hadits dari Nabi)- beliau bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian di suatu hari sedang berpuasa berpuasa, maka janganlah dia berkata-kata kotor dan berbuat kebodohan dan sia-sia. Bila dia dicaci oleh orang lain atau diperangi, maka hendaklah dia mengatakan, “Sesungguhnya saya sedang berpuasa.” (HR Muslim nomor 1151)
Inilah ujian bagi seorang ibu, tentu hadits ini akan lebih berat diamalkan oleh wanita dengan potensi bahasa yang lebih banyak, dibandingkan lelaki. Oleh sebab itu puasa harus menjadi media atau madrasah untuk belajar seni berkata-kata.
Seorang Ibu yang berpuasa hendaknya lebih mengoptimalkan seni berkomunikasi positif kepada keluarga, baik anak maupun suami atau kepada siapapun. Karena dengan banyak berkomunikasi positif akan menurunkan beban produksi kata yang setiap hari harus disampaikan, sehingga semua menjadi pahala dan kebaikan.
Banyaklah membaca al-Qur’an dan diskusikanlah isi al Qur’an dengan keluarga, sehingga akan terjadi komunikasi interaktif yang sangat positif. Banyaklah memberikan cerita positif kepada anak dalam berbuka maupun sahur, sehingga akan menjadi memori baik bagi anak-anak.
Jika mungkin terjadi emosi yang berlebihan karena melihat anak atau suami yang tidak ideal, maka ingatlah anda sedang berpuasa, sekuat mungkin jagalah, ubahlah kekesalan itu dengan menarik nafas, dan ajaklah berkomunikasi dengan baik anggota keluarga.
Tentu ini tidaklah mudah, akan tetapi puasa adalah jalan Allah SWT melatih manusia, tentu seorang ibu yang terlatih menjaga kata-katanya akan menjadi penyejuk dalam rumah tangga. Betapa banyak hancur keluarga karena sebuah perkataan yang salah atau hanya nada yang salah. Seorang Ibu yang baik harus bersyukur dengan potensi bahasanya yang lebih banyak, karena dengannya dia akan banyak mengajarkan kebaikan kepada anak-anak. Dengannya dia bisa menyelesaikan masalahnya, bahkan dengannya dia akan merasakan sebuah kebahagiaan.
Itulah mengapa Rasulullah saw tetap santai ketika Aisyah ra lebih banyak merajuk kepadanya, begitu juga Umar bin Khatab ra tidak marah ketika istrinya lebih banyak berbicara dengannya,karena mereka berdua adalah ayah dan suami yang berhati samudera. Mereka telah menjadi ayah dan suami yang berpuasa. Sungguh indah keluarga yang mampu berpuasa dengan baik.