Daily Fasting Family: Ayah Puasa Berhati Samudera

Penulis: Dr. M. Samson Fajar, M.Sos.I. (Dosen FAI UM Metro)

Salah satu unsur paling utama dalam sebuah keluarga adalah ayah. Ayah sebagai kepala keluarga adalah inti dari keluarga, baik tidaknya keluarga ada di dalam diri kepala keluarga, sukses tidaknya pendidikan keluarga ada di dalam diri seorang ayah, sehingga Allah SWT berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.[at-Tahrîm/66:6]

Ayat di atas secara normatif adalah perintah bagi para ayah, para kepala keluarga, untuk menjaga dirinya dan keluarganya dari siksa api neraka. Hal ini menjadi dasar bahwa ayah sebagai kepala keluarga adalah pemimpin yang akan bertanggung jawab bagi semua yang dilakukan oleh keluarganya. Dia akan masuk surga jika bertanggung jawab dengan keluarganya, dan dia akan masuk neraka jika membiarkan keluarganya, walau dirinya solih.

Puasa mengajarkan kepada seorang ayah untuk menjadi ayah hebat, ayah yang memiliki hati sedalam dan seluas samudera, yang didalamnya ada kesabaran dan ketelatenan dalam membawa keluarga menjadi keluarga yang baik. Karena ayah gagal adalah ketika dirinya tidak mampu memberikan kesabaran dan ketelatenan dalam membangun keluarga yang baik.

Puasa mengajarkan seorang ayah bersabar, maka hendaknya dirinya bersabar seperti dalamnya samudera, karena ayah yang tidak penyabar maka dirinya ibarat pantai yang dangkal, mudah beriya’ dan bergelombang, bahkan bercampur dengan pasir dan kotoran. Ayah yang penyabar ibarat samudera sangat dalam, penuh ketenangan, bening, bersih dan penuh dengan hewan laut yang indah di dalamnya.

Ayah yang penyabar akan selalu tenang menghadapi keluarganya, baik istri maupun anaknya, sekeras apapun mereka. Dia tidak mudah terpengaruh dengan segala realitas sifat dan sikap keluarganya yang membuat hatinya sakit, tetapi selalu menyikapi dengan penuh ketenangan dan kewibawaan. Dia selalu menghadirkan sifat-sifat indah dalam kepribadiannya, sehingga istri dan anaknya akan bangga kepada dirinya, karena ayahnya menjadi teladan dalam hidupnya.

Puasa juga mengajarkan untuk menjadi ayah yang telaten, ulet dan penuh perjuangan. Seperti samudera yang luasnya tidak terbatas, dia akan mengantarkan siapapun yang berlayar sampai pada tujuannya, tanpa membedakan sedikitpun. Demikianlah seorang ayah seharusnya, telaten membimbing dan menggandeng anaknya untuk sampai pada tujuan ridho Allah SWT.

Ayah berhati samudera tidak pernah berhenti walau anaknya sulit dibimbing, karena dirinya berpengetahuan luas tanpa batas, sehingga selalu ada jalan dan cara untuk mengantarkan istri dan anaknya kepada kebaikan dan keshalihan. Dengan ketelatenan inilah seorang ayah akan terhindar dari kedurhakaan pada anaknya:

Diriwayatkan pada masa Umar bin Khattab ada seorang ayah yang menyeret putranya untuk dihadapkan kepada Amirul Mukminin. Di depan Umar, orang tua itu mengadukan kelakuan putranya yang tak mau menghormati dan durhaka padanya. “Mohon nasehati dia, wahai Amirul mukminin!” kata orang tua itu.

Umar lalu menasehati anak lelaki itu. “Apa kamu tak takut kepada Tuhan-mu sebab ridha-Nya tergantung ridha orang tuamu.” Tak disangka-sangka anak itu berbalik tanya: “Wahai Khalifah! Apa di samping terdapat perintah anak berbakti kepada orang tua, terdapat juga ajaran orang tua bertanggung jawab kepada anaknya?”.

Umar bin Khattab menjawab: “Ya, benar ada! Seharusnya seorang ayah menyenangkan dan mencukupi nafkah istri sekaligus ibu dari putra-putrinya, memberikan nama yang baik kepada putra-putrinya, serta mengajari putra-putrinya Al-Quran dan ajaran agama lainnya.”

Mendengar penjelasan Amirul Mukminin, anak laki-laki itu membalas: “Jika demikian, bagaimana aku berbakti kepada ayahku? Demi Allah, ayahku tak sayang kepada ibuku yang diperlakukan tak ubahnya seorang hamba sahaya. Sekali-kalinya dia mengeluarkan uang untuk ibuku, sebanyak 400 dirham untuk menebus ibuku. Dia juga tak menamaiku dengan nama yang baik: Aku dinamai ayahku dengan nama “Juala” (Jadian). Dia juga tak mengajariku mengaji, satu ayat pun!”

Seketika itu Umar bin Khattab berpaling, matanya memandang tajam ke arah orang tua anak itu, sambil berkata: “Kalau begitu bukan anakmu yang durhaka, tetapi kamulah orang tua durhaka!”

Puasa mengajarkan seorang ayah berhati samudera memiliki daya tahan yang kuat untuk tidak mudah reaktif dengan segala aktifitas anggota keluarga, tetapi lebih pada bersikap aktif melakukan pengawasan dan pembimbingan terhadap mereka.

Puasa mengajarkan seorang ayah berhati samudera memiliki daya tahan dari segala bentuk pikiran dan perilaku negatif. Perilaku negatif anggota keluarga tidak mempengaruhi sedikitpun hatinya dan pikirannya, karena dirinya fokus berfikir positif dan berharap pada Allah SWT. Seperti samudera yang tidak pernah najis walau dimasukan ribuan ton kotoran, karena dirinya suci dan mensucikan.

Jika hadir ayah seperti ini maka sungguh keluarga seperti memiliki kepala yang berisi otak yang penuh dengan fikiran cerdas dan kebijaksanaan, akhirnya kepala ini akan memimpin anggota tubuh berjalan dengan baik dan penuh dengan ketenangan. Akhirnya lahirlah keluarga yang baik, teratur, tenang dan penuh kebijaksanaan, ayah yang menjadi teladan bagi istri dan anak, sehingga keluarga sakinah akan terwujud. Ayah yang akan berkorban demi keluarganya, mampu bertahan untuk kebahagian anggota keluarganya, dan dia menjadi ayah yang baik untuk anak-anaknya, bukan ayah yang durhaka kepada anak-anaknya.