Bahagia dengan Al-Qur’an: Menipisnya Self-Awareness
- 1 Juli 2021
- Posted by: Humas UM Metro
- Categories: Profetik, Uncategorized @id

Profetik UM Metro – Allah SWT berfirman: “Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan tetapi mereka tidak menyadarinya (Al Baqarah ayat 12).
Ayat ini menggambarkan bagaimana orang munafik Madinah yang sangat vokal menyatakan dirinya sebagai pelaku perbaikan (muslihun) sedangkan realitasnya mereka adalah pembuat kerusakan (mufsidun).
Fakta ini mengindikasikan ketidaksadaran diri mereka (la yasy’uruun) akan posisi diri mereka sendiri. Karena mereka terlena dengan karya yang mereka lakukan.
Demikianlah sifat orang yang berpenyakit hati, apa yang mereka lakukan tak sebanding dengan kerusakan yang mereka sebabkan, tetapi tetaplah mereka mengatakan melakukan perbaikan.
Ketidak sadaran diri ini disebut dalam teori Maslow sebagai self-awareness (kesadaran diri). Teori ini menyebutkan bahwa seseorang hendaknya memahami, mengerti siapa diri kita, bagaimana menjadi diri sendiri, apa potensi yang kita miliki, gaya apa yang dimiliki, apa langkah-langkah yang diambil, apa yang dirasakan, nilai-nilai apa yang dimiliki.
Bahkan kesadaran diri hendaknya menyentuh ruang ruang spiritual bagaimana visi misi kita hidup, tujuan hidup dan kemana kita akan kembali serta apa yang kita lakukan dalam kehidupan ini.
Umar bin Khatab mengajarkan kesadaran diri ini dengan selalu bermuhasabah, atau mengevaluasi diri kita. Apakah yang kita lakukan sudah ikhlas, sesuai perintah Allah dan Rasul, memberi manfaat kepada manusia dan alam semesta?
Beliau menyebutkan hasibu anfusakum qabla antuhasabu hitunglah dirimu sebelum engkau dihitung Allah di hari hisab nanti.
Kecakapan dalam bermuhasabah akan menghadirkan self-awareness, sehingga akan melahirkan manusia yang memiliki kepekaan akan kebaikan, mampu membedakan yang baik dan buruk (furqan) serta mampu mengenal dirinya sendiri (ma’rifatun nafsi).
Self-awareness akan menghidupkan rasa malu kepada diri sendiri, sehingga dia akan menjadi manusia yang tawadhu, tidak merasa berjasa, merasa berbuat tetapi dia akan selalu optimal dan berbuat dan berkarya.
Kiayi Dahlan pernah berpesan “sepi eng lambe rame eng gawe” demikianlah orang yang bersih hatinya dari kemunafikan, tidak banyak berbicara akan karyanya tetapi fokus pada karya walaupun karyanya tak diakui oleh manusia. Karena dia hanya berharap kepada Allah SWT, yakin akan perintah Allah SWT.
Sifat insan profetis yang hendaknya selalu dibangun adalah self-awareness, cerdas emosi dan spiritual nya, dengan selalu ber muhasabah diri agar melahirkan percikan cahaya hidayah Allah SWT dalam setiap fikiran, hatinya dan amalnya.
Mereka bukan orang yang vokal menyebutkan prestisenya, tetapi mereka orang yang selalu menghadirkan prestasi nyata, mereka orang yang selalu menyadari diri sebagai hamba dan Khalifah Allah SWT di muka bumi.
Insan profetis yang sadar dirilah adalah tiang penyangga peradaban masa depan.
Penulis: Dr. M. Samson Fajar, M.Sos.I. (Dosen FAI UM Metro)