Bahagia dengan Al-Qur’an: Istihza’ Sinisme dan Istidraj Pembiaran
- 8 Juli 2021
- Posted by: Humas UM Metro
- Categories: Profetik, Uncategorized @id

Profetik UM Metro – Allah SWT berfirman: “Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan,” (Al Baqarah ayat 15).
Ayat ini menunjukkan jawaban Allah SWT kepada orang-orang Yang selalu berolok-olok terhadap kebenaran dan keimanan. Dalam teori komunikasi disebut dengan sinisme.
Sinisme adalah bahasa sindiran yang keras dan mengandung ejekan kepada sesuatu yang dilakukan seseorang. Sinisme ini setara dengan istihza’ yang dilakukan orang yang berwajah dua, berkarakter self-monitoring atau yang tidak konsisten. Mereka selalu mengejek bahwa keimanan adalah bagi orang-orang bodoh. Keimanan Islam adalah nilai tradisi Arab yang diimpor, bahkan dengan istilah sarkasme yang tidak layak.
Sinisme atau istihza’ yang mereka lakukan terhadap agama dan nilai nilai keimanan, akan dibalas Allah SWT dengan sinisme Allah SWT kepada mereka. Mereka akan diolok-olok di dunia ini dengan kehinaannya atau Allah SWT akan olok olok di akhirat.
Sifat sinisme hakikatnya bukan sifat orang beriman, Allah SWT melarang mengolok-olok (sinisme) kepada siapapun. Bahkan kepada Tuhan atau agama orang lain. Akan tetapi bangsa ini telah larut dalam budaya sinisme ini dengan istilah sarkasme kadrun dan cebong dan lainnya.
Ketika sinisme (istihza’) ini menjadi kebiasaan maka Allah SWT biarkan Bangsa ini.
Dalam ayat di atas Allah menyebut dengan kalimat wayamudduhum fi tughyanihim dan Allah SWT membiarkan mereka dalam kesesatan. Pembiaran inilah yang menyebabkan manusia seakan tak memiliki pegangan, control dan rem sehingga bangsa ini serasa tak ujung ada solusi.
Dalam prespektif hukum ada istilah pembiaran. Pembiaran adalah sikap tak peduli, ketika masalah terjadi, dan orang lain tertimpa penderitaan. Pembiaran juga adalah sikap tak peduli di hadapan berbagai kesalahan dan kejahatan yang terjadi. Masalahnya, pembiaran yang dilakukan manusia akan berefek buruk kepada pelakunya.
Jika satu kesalahan dibiarkan, maka ia akan menjadi kebiasaan. Orang tak lagi melihat hal tersebut sebagai suatu kesalahan. Inilah yang disebut Hannah Arendt, seorang pemikir Jerman, sebagai banalitas kejahatan (Banalität des Bösen). Jika kebiasaan sudah menyebar, ia akan menjadi apa yang disebut Anthony Giddens, seorang pemikir Inggris, sebagai bagian dari kesadaran praktis (practical consciousness) masyarakat tersebut.
Demikianlah ketika suatu kesalahan sudah Allah SWT biarkan, maka manusia akan nyaman dengan kesalahan demi kesalahan, bahkan tak mampu melihat bahwa itu sebuah kesalahan. Bahkan kesalahan yang menjadi tradisi, lebih parahnya kesalahan yang diproduksi menjadi legal atau aturan undang-undang.
Yang terparah lagi Allah SWT memberikan kelimpahan kemakmuran, kesejahteraan dan kesuksesan kepada mereka, walau mereka melanggar aturan-aturan Allah SWT bahkan sinisme kepada ajaran Allah SWT.
Sebagaimana ditegaskan Rasulullah SAW dalam hadis yang diriwayatkan Uqbah bin ‘Aamir RA. “Apabila engkau melihat Allah memberi seorang hamba kelimpahan dunia atas maksiat-maksiatnya, apa yang ia suka, maka ingatlah, sesungguhnya hal itu adalah istidraj.”
Kemudian, Rasulullah membacakan ayat 44 dari surah al-An’aam. Artinya, “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.”
Bahayanya istidraj atau pembiaran Allah SWT ini bisa terjadi dalam setiap aspek kehidupan manusia, aspek politik, sosial, hukum, ekonomi, pendidikan dan agama.
Secara bahasa, istidraj. berarti ‘mengulur-ulur’. Selain itu, hati-hati pula dengan imlaa’ alias penangguhan dari Allah bagi mereka yang lalai mengingat-Nya. Ingat firman Allah dalam surah al-Qalam ayat 44-45. Artinya, “Maka serahkanlah (Ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Alquran). (belotero.com) Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat tangguh.”
Sehingga ketika ada seseorang yang tidak beribadah, tidak sholat, tidak zakat, tidak puasa, bahkan tidak berakhlak, sampai pada derajat kafir, kemudian dia mendapat kan kemakmuran, kesejahteraan, kekayaan tak terkira maka itulah istidraj (pembiaran).
Atau ada.orang yang mendapatkan jabatan dengan cara haram, melakukan suap dan cara yang haram, tetapi jabatannya langgeng, bahkan cenderung di elu elukan pengikut nya, maka sungguh Allah biarkan dia sampai waktu yang dijanjikan.
Atau sebuah organisasi yang menghidupkan kelompok nya dengan uang haram, mengusulkan aturan haram, tetapi memiliki pengikut sangat banyak dan bahkan semakin jaya, maka ini hanya pembiaran yang Allah tangguhkan.
Sama dengan sebuah negara yang kufur, tidak mengenal Allah SWT, bahkan cenderung membangun aturan aturan yang diharamkan, tetapi mendapatkan kemajuan di atas rata-rata negara lain, maka sungguh ini hanya sebuah istidraj.
Demikianlah bahayanya sinisme atau istihza’ yang berbuah istidraj, karena dengan sinisme seseorang tak akan mampu menilai sebuah kebenaran, dan memprovokasi manusia sehingga akan ragu dengan kebenaran.
Insan profetis adalah mereka yang jauh dari sinisme, mereka adalah insan yang optimis akan sebuah kebenaran. Jikalau kebenaran itu belum sesuai dengan logika mereka, mereka tidak langsung menafikanya, akan tetapi akan mengkajinya dengan ilmu. Apalagi terhadap keimanan, insan profetis adalah insan yang memiliki kepercayaan yang sangat tinggi dan mengilmui nya, bukan mengolok-olok.
Insan profetis bukan manusia yang mengejar kemakmuran Dunia, akan tetapi mengejar keberkahan dunia. Sehingga semakin tinggi dunia mereka, semakin dekat mereka dengan Allah SWT.
Insan profetis berjuang menghilangkan sifat sinisme dalam kerangka keilmuan, kebangsaan dan kehidupan. Untuk menghadirkan campur tangan Allah SWT dalam setiap aspek kehidupan. Ketika Allah menetapkan campur tangan-Nya, maka itulah hidayah-Nya, sehingga kehidupan manusia semakin tenang dan bahagia.
Penulis: Dr. M. Samson Fajar, M.Sos.I. (Dosen FAI UM Metro)