Bahagia dengan Al-Qur’an: Dunia yang Terjangkiti Simbol, Bukan Hakikat

Profetik UM Metro – Allah SWT berfirman: “Di antara manusia ada yang mengatakan, “Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian” padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman,” (Al-Baqarah ayat 8).

Menikmati Al-Qur’an dengan merenunginya (tadabbur) akan selalu mendapatkan novelty-novelty baru dalam fikiran dan paradigma hidup manusia, sehingga dengan paradigma itulah manusia akan mampu berjalan dengan baik dan benar.

Dalam ayat di atas (Al-Baqarah ayat 8) bahwa ada sebagian manusia yang mengatakan bahwa mereka beriman akan tetapi mereka tidaklah hatinya beriman. Dalam konsepsi Qur’ani disebut dengan munafik.

Menurut Ibnu Juraij, orang munafik ialah orang yang ucapannya bertentangan dengan perbuatannya, keadaan batinnya bertentangan dengan sikap lahiriahnya, bagian dalamnya bertentangan dengan bagian luarnya, dan penampilannya bertentangan dengan kepribadiannya

Penulis memahami bahwa kemunafikan adalah kondisi di mana kehidupan hanya diwarnai dengan simbol dan slogan, tetapi kering dari hakikat dan realitas.

Bagaimana kehidupan saat ini dipenuhi dengan symbol-simbol keimanan, slogan-slogan agama, visi bernuansa keimanan dan ketaqwaan, lembaga bernuansa syariah, bahkan moto kejujuran, kedisiplinan, anti korupsi dan lain sebagainya. Tetapi semua itu berhenti pada ruang simbolistik dan kering esensi hakiki.

Sudah waktunya penyakit hati (qalbun mariid) dalam konsep Ibnu Qayyim Al-Jauziyah ini di akhiri. Hendaknya baik pribadi maupun lembaga belajar mengintegrasikan antara simbol dan hakikat, mengintegrasikan antara ucapan iman dan amal iman, mengintegrasikan antara iman dan ilmu, mengintegrasikan dunia dan akhirat.

Sekularisme adalah kemunafikan sejati, ketika manusia menjadi makhluk amphibi (dua alam), ketika dia di masjid bersujud, ketika dalam ruang politik dia diktator, ketika di masjid taklim, ketika di kampus menjadi ilmuwan yang anti Tuhan.

Betapa banyak sosialisasi slogan-slogan kebaikan, tetapi realitasnya ditabrak dengan berbagai dalih dan aturan.

Kemunafikan muncul bukan di era perintisan, karena di awal perintisan hanya ada para pejuang. Sama dengan munculnya kemunafikan di kota Madinah, karena fase makkiah hanya mereka yang sanggup tersiksa mempertahankan iman.

Ketika Islam sudah nampak hasilnya maka para opurtunis mulai muncul. Mereka mengaku beriman akan tetapi menghancurkan Islam.

Bagaimana dengan bangsa ini pada masa perjuangan? Darah para pejuang seakan dilupakan oleh mereka yang mencari keuntungan.

Alih-alih mereka mengatakan, saya akan perbaiki, saya akan sejaterakan dan lain sebagainya bahkan disumpah dengan Al-Qur’an dan kitab sucinya, akan tetapi semua terlupakan.

Slogan keimanan dan moral dalam lembaga pun seakan tak bernilai ketika harus berhadapan dengan kepentingan-kepentingan duniawi para pelaku peradaban.

Insan profetis hendaknya mulai menyadari akan penyakit ini, mulai belajar untuk berfikir secara integral dan berbuat yang konsisten antara iman dan ilmu, perkataan dan perbuatan, antara simbol dan hakikat.

Itulah visi kenabian yang diajarkan oleh Rasulullah, bagaiamana menjadi manusia yang beriman yang sebenarnya, yaitu yang mengatakan kebaikan, berbuat kebaikan dan meyakini kebaikan.

Disitulah insan profetis akan menjadi teladan dalam kehidupan, menjadi teladan dalam bidangnya, karena mereka hadir di dunia bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk kehidupan manusia.

Penulis: Dr. M. Samson Fajar, M.Sos.I. (Dosen FAI UM Metro)