Bahagia dengan Al-Qur’an: Bunglon Sosial yang Gemar Berolok-Olok
- 2 Juli 2021
- Posted by: Humas UM Metro
- Categories: Profetik, Uncategorized @id

Profetik UM Metro – Allah berfirman: Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, “Kami telah beriman.” Dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan, “Sesungguhnya kami sependirian dengan kalian, kami hanyalah ber-olok-olok (Al-Baqarah ayat 14)
Ayat ini seakan menggambarkan seekor bunglon, hewan yang mampu menyesuaikan diri dalam setiap kondisi dan keadaan, yang menyesuaikan warna lingkungan dengan warna kulitnya. Penyesuaian ini untuk perlindungan dirinya agar tidak dideteksi oleh musuhnya.
Dalam teori sosial disebut sebagai self-monitoring. Self-monitoring adalah salah satu ciri kepribadian yang menunjukkan bagaimana seseorang mengontrol image dirinya di muka publik terhadap berbagai situasi sosial.Teori ini diperkenalkan oleh Mark Snyder pada tahun 1974. Mereka yang memiliki self-monitoring yang tinggi merupakan Bunglon Sosial di sekitar kita.
Karakter ini seakan menggambarkan karakter manusia, karakter ini bisa bernuansa positif dan juga negatif. Positif ketika bunglonisasi dijadikan sebagai proses dalam adaptasi melakukan perubahan suatu kondisi masyarakat. Dengan menyesuaikan pola komunikasi, pola gerak agar dapat diterima segala informasi dan message yang dibawa. Akan tetapi dapat bernuansa negatif ketika karakter ini untuk mencari keuntungan kepada setiap keadaan. Sehingga manusia karakter ini disebut dengan manusia berwajah dua. Dan karakter inilah yang sangat berbahaya, ketika bertemu orang beriman berkata beriman, ketika bertemu orang kafir dia mengatakan aku adalah kawan kalian.
Bahkan bunglon sosial ini dengan keluwesannya selalu proaktif dalam kehidupan sosial, menawarkan solusi dalam setiap problematika kehidupan, bahkan dia terlihat berkharisma dan memberikan kepercayaan Luar biasa di depan masyarakat. Padahal bunglon sosial adalah orang yang tidak memiliki kemampuan mempertahankan komitmen, dan akan cepat berubah ketika ada kondisi yang membuatnya berubah.
Hidup dalam ketidaksesuaian antara citra publik dan realitas pribadi menjadikan seorang bunglon sosial krisis akan identitas diri nya sendiri. Helena Deutsch, seorang psikoanalis, menyebut bunglon sosial sebagai ‘pribadi semu’, karena kepribadiannya yang berubah-ubah dengan kefasihannya yang menakjubkan begitu ia menangkap isyarat-isyarat dari orang-orang sekitar. Akibatnya, bunglon sosial menjadi sangat rentan dengan masalah-masalah eksternal dan sangat menghawatirkan tanggapan orang lain terhadap dirinya.
Dalam membangun sebuah peradaban, tentu ada manusia yang seperti itu. Sebagaimana awal peradaban Islam banyak orang-orang yang hanya mencari keselamatan dan keuntungan dengan mengaku beriman, tetapi ketika bersama orang kafir mereka berolok-olok. Mereka membawa informasi Islam kepada musuh, dan menjadi mata-mata musuh di dalam tubuh umat Islam.
Dalam realitas perjuangan bangsa Indonesian juga banyak karakter bunglon ini, merekalah yang menjadi pengkhianat bangsa ini, memberikan informasi rahasia perjuangan para pahlawan, sebagaimana kisah pangeran Sudirman.
Hakikatnya manusia berwajah dua ini adalah penuh tipu daya, dan selalu ingin membuat kerusakan. Sehingga dia akan menjadikan informasi kebaikan menjadi olok olokan bersama syetan syetan mereka (kawan keburukan). Mereka menjadikan iman dan segala kebaikan bahan tertawaan dan candaan saja.
Olok-olokan ini disebut istihza, istihza adalah mengolok-olok kebenaran menjadi sebuah candaan, sehingga akan menyimpangkan kebenaran itu sendiri. Akhirnya penyimpangan yang bersifat provokatif ini membuat manusia meninggalkan kebenaran itu sendiri.
Bangsa kita saat ini mengalami penyakit ini, bagaimana ayat Al-Qur’an menjadi olok-olokkan, jilbab menjadi olok-olokkan, haji jadi olok-olokan sebagai pemborosan anggaran, dan masih banyak lagi realitas ini.
Bahkan saat ini akhlak baik menjadi candaan, orang jujur dianggap aneh, orang rajin dianggap sok, orang rajin ibadah dianggap sok ahli surga dan seterusnya. Belum lagi olok-olokkan ilmiah, bagaimana mungkin orang sehat dipasang selang impus, kartun dikunci gembok besi dan seterusnya.
Belum lagi kondisi dunia maya, media sosial yang sangat ringan memprovokasi dengan merendahkan para ulama, para ilmuwan bahkan ajaran agama. Bagaimana nasib negeri ini jika hal ini tidak dihentikan. Hoaks demi hoaks selalu muncul membuat toxic berbahaya bagi hati dan fikiran umat.
Hal ini menjadi tanggung jawab berat bagi insan profetis, karena tugas nabi adalah menghadirkan manusia yang konsisten, bukan orang orang yang berwajah dua. Mereka orang yang istiqamah kepada kebenaran, dan menyebarkan kebenaran.
Insan profetis adalah orang yang tidak pernah mempermainkan kebaikan dan kebenaran, mereka sangat patuh pada kebenaran dan serius menjalankan kebenaran. Mereka adalah insan yang objektif dalam menerima kebenaran, bukan karena sebuah kepentingan tapi karena sebuah keyakinan.
Penulis : Dr. M. Samson Fajar, M.Sos.I. (Dosen FAI UM Metro)