Laman Opini UM Metro – Banyak hal yang bisa kita ukur dari sesorang. Kita bisa mengukur tingginya, beratnya, kecerdasannya, minatnya atau atribut yang lain. Jika digolongkan, atribut yang bisa kita ukur dalam diri seseorang terdiri dari dua macam, atribut fisik dan atribut non fisik atau bisa disebut juga atribut psikologis. Berat badan, tinggi dan suhu tubuh seseorang masuk kedalam golongan atribut fisik. Hal ini dikarenakan atribut tinggi, berat dan suhu telah memiliki satuan ukur yang baku. Kalo tinggi misalnya, memiliki satuan baku cm, meter dan seterusnya. Untuk mengukur atribut fisik ini, pengukur juga tidak perlu repot membuat alat pengukurnya. Karena telah tersedia alat ukur yang baku. Misalnya untuk mengukur tinggi, kita dapat menggunakan alat ukur meteran.
Berbeda dengan atribut fisik, atribut psikologis tidak memiliki satuan ukur dan alat ukur yang baku. Ketika kita akan mengukur atribut psikologis seseorang maka kita perlu membuat alat ukurnya. Konstruksi alat ukur psikologis disusun berdasarkan konsep mengenai atribut yang akan diukur. Misalnya kita akan mengukur kemampuan matematika siswa SD kelas 4. Maka kita perlu menyusun terlebih dahulu konsep matematika yang diajarkan pada siswa SD kelas 4 , kemudian menentukan domain pengukuran dari konsep matematika kelas 4 SD, menentukan indikator berdasarkan domain yang telah ditentukan, baru kemudian menyusun soal untuk memngukur kemampuan matematika subyek yang akan di tes.
Dalam mengukur atribut psikologis seseorang, pengukur dapat menggunakan dua metode pengukuran. Menggunakan tes atau non tes. Dua metode pengukuran ini sangat mudah sekali dibedakan. Tes digunakan untuk mengukur peformansi maksimal subyek yang di tes. Dalam tes, jawaban subyek dinilai benar – salah. Jadi agar bisa menjawab soal dengan benar, subyek harus mengeluarkan sumber daya yang dimiliki semaksimal mungkin. Contoh alat ukur yang menggunakan metode ini misalnya, tes IQ , tes Bakat, atau tes Ujian Sekolah.
Sedangkan non tes, mengukur peformansi tipikal subyek yang di tes. Sehingga jawabannya tidak dinilai benar – salah. Subyek cukup memilih jawaban yang sesuai dengan tipe dirinya. Mau jawab A, B atau C sah-sah saja. Alat ukur ini hanya berfungsi menggolongkan subyek pada tipe apa. Contoh alat ukur yang menggunakan metode ini misalnya, skala minat (orang biasa menyebut sebagai tes minat), skala motivasi belajar, sosiometri, AUM, atau skala indeks moderasi beragama.
Disebabkan alat ukur psikologis bukanlah alat ukur yang baku, maka sebelum digunakan, alat ukur psikologis perlu diuji validitas dan reliabilitasnya terlebih dahulu. Validitas mengkonfirmasi bahwa alat ukur yang dibuat benar-benar mengukur atribut yang akan diukur. Misal, tes matematika, jika soalnya menanyakan tentang biologi, maka tes tersebut tidak valid. Atau skala indeks moderasi beragama, jika soalnya diadaptasi dari negara barat yang sekuler, maka bisa jadi soalnya menjadi tidak valid.
Ada banyak cara untuk menentukan apakah sebuah alat ukur psikologis valid – tidak valid, salah satunya dengan menguji soal yang dibuat kepada panel ahli. Panel ahli ini terdiri dari para ahli yang benar-benar mengetahui konten dari soal yang dibuat (subject matter expert/SME). Para ahli ini menilai, apakah soal-soal yang dibuat benar-benar sesuai dengan tujuan dari pengukuran. Jika tes yang dibuat mengukur kemampuan matematika kelas 4 SD, maka SME tentu saja guru yang mengajar matematika di kelas 4SD. Atau jika skala mengukur indeks moderasi agama, maka SME nya tentu saja para ahli agama (mewakili spektrum variasi keagamaan yang diakui di Indonesia).
Demikian sekilas mengenai teori dalam mengukur atribut non fisik atau psikologis. Semoga dapat menambah khasanah bagi mahasiswa yang menggambil matakuliah pengukuran, assessment psikologi tes dan non tes, atau evaluasi pendidikan. Sebenarnya banyak hal menarik yang dapat dibahas mengenai konsep pengukuran yang akhir-akhir ini menjadi perdebatan di khasanah publik Indonesia. Namun tulisan ini hanya sebuah pengantar singkat dalam membahas teori dalam mengukur atribut non fisik/psikologis.
Penulis: Dr. Satrio Budi Wibowo, S.Psi., M.A.