Oleh: Dr. Achyani, M.Si. Dekan FIKES dan Dosen PPs UM Metro
Opini UM Metro – Sejatinya dalam diri manusia terdapat dua aspek penting yang saling menguatkan bila disadari dan diperhatikan secara baik, yaitu esensi dan eksistensi. Esensi terkait makna, tujuan, dan hakikat yang melekat dalam segala aktivitas manusia untuk mengada (bereksistensi). Faktanya, kedua bagian tersebut terkadang berjalan secara parsial dan tidak harmonis. Seringkali penampilan kasar “sang” eksistensi meninggalkan penampilan halus esensi. Hal ini bisa dipahami karena manusia dalam upaya mengada sangat dipengaruhi keinginan dan ambisi sehingga melupakan hakikat sebenarnya dari upayanya membangun eksistensinya tersebut.
Dalam masyarakat yang dimabuk kekuasaan: jabatan, pengakuan, upaya pencitraan diri menjadi begitu penting. Melalui pencitraan diri, seseorang ingin dianggap lebih hebat daripada keadaan sebenarnya oleh orang lain. Orang yang suka pencitraan itu ” Less essenstial, more symbolic“. Kebanyakan pencitraan dan Kekurangan pemikiran. Waktunya pun tersita untuk aktivitas simbolik dan superfisial, tidak hakiki dan esensial. Setiap saat disibukan merekayasa semua hal hanya agar dirinya terlihat lebih hebat dari yang sebenarnya. Apapun dilakukan demi mendapat pengakuan sebagai orang yang eksis. Di jaman internet dan teknologi komputer yang canggih sekarang ini, perilaku pencitraan semakin “menjadi-jadi”. Fasilitas Search Engine dan Copy Paste menjadi bagian penting kesuksesan seseorang dalam pencitraan dirinya. Keduanya mendukung upaya pencitraan seseorang semakin berkualitas dan masif.
Fenomena tersebut umumnya terjadi pada politikus atau seseorang yang sedang berkampanye untuk jabatan tertentu dan hal itu dianggap wajar, lumrah. Faktanya, tidak sedikit upaya pencitraan juga terjadi di dunia akademik seperti kasus plagiasi dan jocky. Plagiasi yang terjadi umumnya mengaku gagasan-gagasan orang lain lalu dirangkai atau diparafrase sedemikian rupa sehingga seolah itu gagasan dirinya dan ditulis menjadi buku, artikel, atau bagian dari proposal dan laporan penelitiannya. Di zaman rezim scopus saat ini pun terjadi “proyek” penulis bayangan. Banyak nama yang tercantum sebagai penulis dalam sebuah artikel hanyalah sekedar nama tanpa karya, karena tulisan itu dibuatkan dan diupayakan dapat publish di sebuah jurnal bergengsi oleh orang lain yang sering disebut broker atau makelar scopus. Wajar jika kemudian muncul fenomena “ular kobra” yang melukiskan bagaimana mekanisme akal-akalan dalam dunia penulisan jurnal ilmiah, justru berubah menjadi tidak ilmiah karena cara-cara culas dalam upaya meloloskan artikel ke sebuah jurnal ilmiah tertentu. Semua hal tersebut menunjukkan kepada kita bahwa eksistensi lebih dipentingkan daripada esensi.
Jika dalam dunia politik dikenal istilah: Demokrasi Prosedural dan Demokrasi Substansial. Meskipun agak berbeda konteks, dalam dunia akademik pun sepertinya tidak salah jika menyebut ada Profesor Prosedural dan Profesor Substansial. Secara prosedur sama-sama terpenuhi, tapi nir esensi. Kesimpulannya; dunia politik dan akademik sama, suka mengakali prosedur. Dan, lebih ironis lagi hal itu pernah terjadi pada tokoh-tokoh “suci” agamawan yang selalu menanamkan konsep ikhlas, lillahi ta’ala. dan tidak boleh riya tapi justru ingin mendapatkan jabatan atau gelar akademik tertentu dengan mengabaikan substansi.
Praktik-praktik keagamaan yang ada dan tidak sesuai dengan yang seharusnya, umumnya dikarenakan adanya ketidaksesuaian antara syariat dan hakikat. Kita sering kali menemukan keberagamaan seseorang yang melakukan peribadatan tanpa tahu maknanya. Kita pun sering menyaksikan orang atau kelompok berdebat hebat bahkan sampai bermusuhan karena ada tata cara peribadatan yang berbeda. Pemahamannya hanya sampai syariat sehingga jiwa atau mutiara (hakikat) dari sebuah praktik keagamaan terlepas, akibatnya peribadatan yang dilakukan hanya berhenti pada ritual fisik semata. Seringkali orang yang beragama hanya sampai syariat seringkali membenturkan hal-hal yang tidak prinsip, sibuk dengan kulit tapi lupa bahwa di dalam kulit ada kandungan biji yang bernilai tinggi.
Lebih mudah lagi menemukan fenomena ini bila terkait jabatan. Kita dengan mudah menemukan orang yang lebih bernafsu mendapatkan jabatan dan tidak pandai memantaskan diri, apakah dirinya layak pada jabatan tersebut atau tidak. Berbagai manuver pun dilakukannya untuk mendapatkan jabatan itu dengan cara apapun, baik cara-cara kotor seperti memanipulasi data, persyaratan, dan lain-lain. Semuanya dilakukan atas nama eksistensi diri, yang penting bisa menunjukkan bahwa dirinya bisa memiliki jabatan, meskipun di kemudian hari banyak orang mencibirnya karena ternyata banyak job description yang menjadi beban tugasnya terabaikan. Mirip fenomena kerang tanpa kandungan mutiara di dalam tubuhnya.
Dalam mengelola alam pun manusia sudah kehilangan esensi kesemestaan di alam. Manusia sekarang sudah dirasuki roh antropocentrisme yang sangat parah. Seolah alam ini hanya berisi manusia dan hanya manusia yang berhak eksis di dalamnya. Padahal manusia tanpa tumbuhan bisa apa? Alam ini tanpa insekta semua siklus kehidupan yang terkait langsung dengan kepentingan manusia akan terhenti. Bumi tanpa mikroorganisme pengurai akan membuat manusia menderita karena harus hidup berdampingan dengan bangkai-bangkai pelbagai jenis makhluk hidup yang gagal terurai menjadi tanah. Sadarlah, bahwa manusia hanya salah satu mata rantai kehidupan yang rapuh di alam ini. Manusia wajib menjaga keutuhan semua makhluk hidup dan siklus ekologi di alam ini agar manusia tidak susah, bahkan musnah, dan dapat hidup secara harmonis sebagai bagian integral dari alam. Dan, itu lah Ecocentrisme, yang mengingatkan manusia: jika ingin eksis jangan melupakan esensi dari nilai-nilai kesemestaan.