Alif Lām Mīm: Inspirasi Nalar Pencerahan
- 1 Februari 2024
- Posted by: Humas UM Metro
- Category: Berita Terbaru
Penulis: Dr. Samson Fajar, M.Sos.I. (Dosen FAI UM Metro)
Al-Qur’an diyakini sebagai kitab suci, suci isinya, suci kebenarannya, suci Zat yang Mengfirmankanya dan suci dari segala tuduhan keburukannya. Dengan dasar ini maka al Qur’an setiap huruf, ayat dan suratnya pasti memiliki makna dan maksud yang terkandung di dalamnya, sesuai siapa yang membaca, mengkaji nya serta memahaminya.
Ayat satu surat Ali Imran ini terdiri dari huruf-huruf muqatha’ah (huruf-huruf yang terputus) yang secara bahasa tidak disebut sebagai kata sempurna yang memiliki makna. Akan tetapi pertanyaannya adalah mungkinkah Allah SWT menurunkan ayat tanpa makna?
Dalam pendekatan profetik, sebagai sebuah metodologi pencerahan umat, para nabi sering memberikan sesuatu yang secara nalariah logika tidak dapat dipahami, akan tetapi itu memiliki makna yang terkandung didalamnya. Sebagaimana kisah Kisah Nabi Adam as dg pohon Khuldi, Kisa Nabi Nuh as dengan Bahtera, Khidir dan Nabi Musa as, serta Musa as dengan tongkatnya. Semuanya adalah simbol yang memberikan makna tersembunyi di dalamnya.
Nabi Muhammad SAW dikaruniai mukjizat al Qur’an yang mana dominasinya adalah mukjizat kata dan kalimat, maka Allah SWT memberikan simbol-simbol yang memiliki makna secara ontologis didalamnya sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Arabi.
Dari segi metodologi, Ibnu Arabi termasuk memakai metode tafsir Isyari atau tafsir sufi. Sebuah metodologi tafsir yang memakai intuisi sebagai sumber dalam penafsiran dan pentakwilan yang berdasarkan pengalaman spiritual seorang mufasir. Terlepas dari pro-kontra keabsahan metode tafsir tersebut di kalangan ulama, menurut saya pribadi tradisi tafsir ini akan tetap diterima tetapi hanya bagi golongan khusus saja (al-khawwash). Sebagaimana kehadiran tasawuf falsafi itu juga dipahami kalangan tertentu saja, bukan orang awam secara umum.
Dasar tradisi tafsir Isyari —sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Arabi— berangkat dari hadis yang berbunyi, “Tidak ada ayat yang turun dari Al-Quran pun, kecuali ia memiliki aspek zahir dan batin, dan di setiap huruf terdapat batas pemahaman (haddun), dan di setiap batas itu terdapat terdapat rahasia (mathla’).” Ibnu Arabi —yang tafsirnya akan saya ulas setelah ini— mengomentari hadis tersebut, bahwa tafsir itu adalah zahir, sedangkan takwil itu adalah batin. Kalimat haddun itu adalah pemahaman yang dihasilkan dari huruf, sedang mathla’un itu adalah pemahaman di balik huruf yang mengantarkan seseorang naik mengetahui makna-makna.
Apalagi jika ayat itu ditarik dalam konteks era digital hari ini, yang percakapan dunia media sosial sudah berupa simbol-simbol yang manusia harus mampu memahami secara cerdas, maka Alif Lām mim telah mendahului konsep konsep simbolisasi tersebut.
Alif Lām Mim membuka nalar orang Arab yang mereka adalah para jago sastra, disentuh dengan simbol huruf tanpa makna secara teks, sebagai tantangan bahwa inilah al Qur’an yang hurufnya saja bermakna, apalagi kata dan kalimatnya. Karena tidak semua harus nampak jelas untuk memberi manfaat, dan tidak harus diketahui, buktinya kita tidak mengetahui bagaimana udara itu tercipta tetapi manfaatnya jelas dirasa. Demikianlah Alif Lām mim yang sangat dalam makna dan khasiatnya.
Secara inspiratif for action, Alif Lām mim membuka kesadaran belajar lebih dalam, jangan hanya belajar pada wilayah teks tetapi harus melihat konteks dan subtansi sebuah teks, bahkan makna filosofi dari teks tersebut. Karena berapa banyak manusia tertipu oleh teks (bayan) sehingga dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa sesungguhnya di dalam bayan (teks) itu ada sihir (tipu muslihat) .
Kelemahan orang saat ini membaca, melihat dan mendengarkan potongan kata dan kalimat di media sosial, yang kemudian termotivasi, terobsesi bahkan terprovokasi, sehingga dunia ini tidak seimbang. Generasi saat ini kurang mampu membaca secara lengkap, apalagi memahami makna di balik sebuah kalimat.
Fenomena yang ada sebagai simbol dari pesan pesan nomena (makna dibalik fenomena) kurang mampu dipahami generasi saat ini, sehingga melahirkan generasi sumbu pendek, yang emosional jauh dari kata rasional dan supra rasional. Jika hal ini terus berlanjut maka bangsa ini mudah diadu domba dan dipecah belah.
Alif Lām mim adalah kritik profetik bagi semua umat disepanjang zaman akan pentingnya belajar secara mendalam, tidak mudah larut dan tersihir oleh kata kata yang sepertinya indah tapi menipu, tetapi harus mulai lebih mampu memahami suatu kata sesuai konteks, tujuan dan filosofi dari kata tersebut. Tidak semua teks sesuai konteksnya, tidak semua kata tepat pada tempatnya, tetapi semuanyaa memiliki kondisinya.
Insan profetik memiliki kecerdasan ini, terbuka cakrawala nalar rasionalnya secara dalam, karena gemar belajar, membaca secara utuh sesuatu, bukan membaca yang terputus konteknya, bahkan mampu memaknai suatu simbol yang dianggap tak bermakna oleh kebanyakan orang.