Literasi yang Literan
- 11 Agustus 2018
- Posted by: Humas UM Metro
- Category: Uncategorized @id
Laman Opini UM Metro – Literasi nampaknya hari ini sudah sangat familiar di tengah hiruk pikuk kecemasan rakyat akan kehidupan di masa depan. Cemas akan kedaulatan ekonomi disetiap gubuk-gubuk yang berdiri di atas bumi ciptaan Tuhan Yang Maha Memberi. Literasi yang asing di telinga pada masanya dulu, kini berubah menjadi sebuah “pendatang” diksi yang mampu memberikan energi pada sendi-sendi keilmuan jelata. Meraung-raung di setiap sudut-sudut kemarginalan karya-karya para ploretar. Menampakkan taring-taring kedigdayaan, seolah ingin menyatakan perang pada nalar-nalar rakus kebodohan yang sedang berkuasa.
Nun jauh di seantero jagat nirmala, Literasi pada dasarnya telah termaktub dalam lembaran cinta Empunya Penguasa Jagat Raya. Namun hanya sedikit saja yang dapat mensubtitusikan konsepsi yang terpahat indah itu. Sebagian saja yang bisa memahami dengan seksama.
Iqra, begitulah awal mula literasi modern tiba di dunia. Diterima seorang pria yang suka menyingkir dari sebuah kenyamanan yang sangat membuat nestafa. Menggigil ditengah goa yang hingga hari ini menjadi saksi bisu akan literasi yang mulia.
Muhammad SAW menjadi pelopor pertama dan utama tentang literasi, walaupun Ia tidak bisa membaca aksara, nampaknya Allah tidak membatasi makna tentang membaca. Maka, literasi modern itu, bisa menjadi sebuah motivasi untuk berinovasi bagi para pengikutnya. Berinovasi dalam segala hal, politik, ekonomi, budaya, ilmu bumi, dan masih banyak sekali turunan-turunan yang dihasilkan dari sebuah pemikiran yang diawali dari iqra yang merupakan literasi modern pada zaman itu. Kini setelah sekian abad berlalu, “proyek literasi” mengalami pasang surut, ada kalanya naik hingga permukaan peradaban, namun tak jarang terjun bebas dalam lembah-lembah kenistaan.
Melihat geliat seorang pahlawan nasional, Muhammad Darwis, KH. Hasyim Asyari, Siti Walidah, RA. Kartini, Haji Oemar Said Cokro Aminoto, Sukarno, Hatta, Buya Hamka, dan lain sebagainya, setidaknya menjadi sebuah kebanggan, bahwa pada masa mereka telah terjadi sebuah proyek besar-besaran literasi. Literasi merupakan ruh bagi bangsa ini, berbanding lurus dengan perjuangan menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan. Sederhananya menjadi sebuah ilmu yang diamalkan, dan amal yang ilmiyah.
Pasca kemerdekaan tampil pelbagai karya-karya yang dihempaskan pada kertas-kertas yang terbuat dari pohon-pohon belakang rumah rakyat yang paceklik. Tampil berkarya Buya Hamka, Pramodya Ananta Tour, WS Rendra, dan masih banyak lagi yang tak terkira.
Apapun background mereka, ulama, budayawan, berhaluan kiri, atau siapapun itu pada masanya memiliki sebuah proyek literasi yang sangat berarti bagi bangsa ini. Karya-karyanya menjadi bukti kecerdasan intelektual yang dibalut dengan idealisme-idealisme masing-masing individu.
Maka berselancarlah di masa kini, ketika banyak anak bangsa dikebiri dengan sangat sistematis. Tayangan-tayangan televisi menampilkan pragmatisme dan konsumerisme. Ditambah dengan kelakuan para borjuis yang sangat taktis melakukan dagelan di meja-meja yang mulia dekat istana. Lalu perdebatan para pendukung partai yang semakin mengaburkan makna kebenaran. Agama dipinggirkan tidak diberi ruang, namun ketika ada sebuah hajat 5 tahunan, agama diberi ruang sebebas-bebasnya. Literasi hanya literan, terbatas dan stagnan. Bahkan gerakannya dipolitisasi, maskotnya dicomot sana sini, lalu mahasiswa masih berkutat dengan diktat-diktat, bergurau dengan rumus-rumus. (Alprazolam) Tidak pernah berkhalwat bersama Sang Pencipta. Dalam goa-goa kaum Mustad’afin. Maka kapankah mahasiswa akan menerima anugerah perjuangan jalan sunyi literasi? Seperti halnya Muhammad SAW Sang Pelopor Literasi?
Penulis : Yoga Hasdi Ariantoro (Alumni UM dan Demisioner IMM Kota Metro)
Editor : Al-Bayurie/Hum
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.